Rabu, 03 November 2010

Dinamika APBN 2005-2011

Dr. Roberto Akyuwen
Widyaiswara Madya, Balai Diklat Keuangan Yogyakarta, Kementerian Keuangan RI

1.    Pendahuluan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah salah satu instrumen yang digunakan pemerintah untuk mendukung pelaksanaan fungsi administrasi pemerintahan, fasilitasi pembangunan, dan pelayanan publik. Ketiga fungsi tersebut pada dasarnya bersifat multidimensi, karena menyangkut banyak aspek, sehingga pengelolaan APBN setiap tahunnya menghadapi tantangan yang kompleks. Tantangan yang dihadapi oleh Kementerian Keuangan maupun instansi pemerintah lainnya, dapat bersumber dari internal maupun eksternal.

Secara internal masih terdapat berbagai hal yang harus diperbaiki agar perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan APBN dapat berjalan dengan optimal. Sedangkan secara eksternal, ekspektasi yang tinggi dari masyarakat terhadap efektivitas dan efisiensi APBN belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Di samping itu, terdapat pula tantangan yang terkait dengan proses politik dalam merumuskan dan menetapkan APBN.

Sebagai contoh, dalam konteks ekonomi makro, konsumsi pemerintah merupakan salah satu komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB), selain konsumsi masyarakat, investasi, dan ekspor neto (Dornbusch et al., 2004: 25). PDB merupakan representasi dari kondisi perekonomian di suatu negara, sehingga fluktuasinya dapat digunakan sebagai indikator kinerja ekonomi di negara yang bersangkutan. Di negara-negara yang masih terbelakang dan sedang berkembang, termasuk Indonesia, peran konsumsi pemerintah relatif besar terhadap PDB, selain konsumsi rumah tangga. Dalam RAPBN 2011, pangsa belanja pemerintah berkisar 8,7 persen terhadap PDB. Sebaliknya, di negara-negara maju, kontributor yang besar dalam PDB pada umumnya adalah investasi dan ekspor neto.

Konsumsi pemerintah tersebut dalam prakteknya perlu didukung oleh kemampuan mengumpulkan pendapatan negara secara memadai. Aspek inipun memiliki dinamika tersendiri, yaitu mencakup perpajakan, kepabeanan dan cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kompleksitas APBN masih pula ditambah dengan beragam persoalan yang timbul menyangkut transfer ke daerah yang merupakan perwujudan desentralisasi fiskal serta upaya untuk membiayai defisit anggaran.

Menurut Gruber (2010: 3), terdapat empat pertanyaan yang dapat diajukan terkait dengan peran pemerintah dalam perekonomian, yaitu:

(1)     Kapan seharusnya pemerintah melakukan intervensi ke dalam perekonomian?
(2)     Bagaimana pemerintah melakukan intervensi?
(3)     Apa dampak dari intervensi yang dilakukan terhadap perekonomian?
(4)     Mengapa pemerintah memilih cara intervensi tertentu?

Kemampuan pemerintah mengelola keuangan negara tercermin dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan terlihat dari perbaikan indikator pembangunan yang mencakup beragam bidang kehidupan masyarakat. Todaro dan Smith (2003: 22) menyimpulkan bahwa “... development is both a physical reality and a state of mind in which society has, through some combination of social, economic, and institutional process, secured the means for obtaining a better life”. Harjowiryono (2009: 295) misalnya, menemukan bahwa belanja pemerintah terbukti signifikan dan positif dalam mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia. Namun, perbaikan IPM tersebut hanya bersifat inelastis terhadap belanja pemerintah.

Makalah ini ditujukan untuk mendeskripsikan perkembangan pilar-pilar APBN selama periode 2005-2011. Berdasarkan gambaran holistik mengenai APBN, diharapkan dapat dihasilkan beragam pandangan kritis dan sekaligus gagasan-gagasan konstruktif untuk menyempurnakan pengelolaan APBN di masa-masa mendatang.

2.    Asumsi Ekonomi Makro

Asumsi ekonomi makro memiliki kedudukan yang vital, karena merupakan basis bagi perhitungan APBN. Kementerian Keuangan menetapkan asumsi ekonomi makro setiap tahun yang terdiri dari 6 indikator, yaitu PDB, inflasi, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), harga minyak bumi, dan lifting minyak bumi. Ke-6 indikator senantiasa berfluktuasi selama periode 2005-2011.

Pertumbuhan ekonomi selama periode 2005-2011 sedikit meningkat, meskipun pada tahun 2009 mengalami penurunan sebagai akibat krisis ekonomi global. Jumlah nominal PDB Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 2,5 kali jika dibandingkan dengan tahun 2005. Kondisi ini menunjukkan bahwa skala perekonomian nasional telah mengalami peningkatan yang signifikan, meskipun dengan kualitas yang belum sesuai dengan harapan. Disparitas pendapatan antargolongan penduduk masih relatif tinggi dan demikian pula dengan disparitas pembangunan antarsektor dan antarwilayah.

Indikator lainnya juga mengalami perbaikan, seperti inflasi yang menurun serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang menguat dan relatif stabil sepanjang tahun 2010. Rata-rata SBI 3 bulan menunjukkan tren penurunan yang menyediakan peluang lebih besar bagi peningkatan penyaluran kredit oleh perbankan untuk keperluan investasi di sektor riil. Sementarai itu, Indonesian Crude Price (ICP) cenderung meningkat, meskipun lifting minyak bumi belum mengalami peningkatan yang nyata.

3.    Perkembangan APBN

Fakta yang menarik dari perkembangan APBN adalah bahwa pada tahun 2011, jumlah pendapatan negara dari penerimaan dalam negeri akan melampaui Rp 1.000 triliun. Sumbangan terbesar tetap diberikan oleh penerimaan perpajakan, khususnya pajak dalam negeri. Adapun PNBP diperkirakan akan mengalami sedikit penurunan.

Dalam hal belanja negara, jumlah Rp 1.000 triliun telah terlampaui pada tahun 2010 atau setahun lebih awal dibandingkan pendapatan negara dan hibah. Belanja pemerintah pusat pada APBN Perubahan (APBN-P) 2010 maupun Rancangan APBN (RAPBN) 2011 tercatat masih lebih besar dibandingkan dengan transfer ke daerah. Meskipun demikian, di dalam komponen belanja pemerintah pusat terdapat komponen dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang disalurkan kepada pemerintah daerah.

Dengan komposisi pendapatan negara dan hibah serta belanja negara tersebut, keseimbangan primer diperkirakan positif kembali pada tahun 2011, setelah pada tahun 2010 bernilai negatif. Demikian pula dengan defisit anggaran yang ditargetkan menurun pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2010. Untuk menutup defisit, diupayakan pembiayaan yang difokuskan pada sumber-sumber di dalam negeri.

Menurut Todaro dan Smith (2003: 791), defisit adalah “excess of expenditures over receipts”. Sedangkan dalam konteks anggaran pemerintah, dikemukakan bahwa:
“Deficit expenditure is amount by which government expenditures exceeds realized tax revenues. Deficit expenditure is normally financed by borrowed funds, and its major objective is to stimulate economic activity by increasing aggregate demand”.
Definsi serupa dikemukakan oleh Gruber (2010: 93), yaitu bahwa “deficit is the amount by which a government’s spending exceeds its revenue in a given year”.

4.    Pendapatan Negara

Pajak penghasilan (PPh) merupakan jenis penerimaan perpajakan dalam negeri yang selalu meningkat dan memberikan kontribusi terbesar. Dari dua jenis PPh, diketahui bahwa sumbangan PPh non migas jauh lebih besar dibandingkan dengan PPh migas. Meskipun demikian, upaya ekstensifikasi maupun intensifikasi tetap perlu dilakukan untuk kedua jenis PPh.

Selain PPh, kontributor perpajakan lainnya yang signifikan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jenis pajak inipun senantiasa meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan peningkatan aktivitas perekonomian nasional dan kinerja aparat perpajakan. Urutan penyumbang pajak dalam negeri selanjutnya berturut-turut adalah cukai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta pajak lainnya.

Sedangkan pajak perdagangan internasional relatif tidak mengalami peningkatan yang berarti dari tahun ke tahun. Selain itu, kontribusi yang diberikan senantiasa berfluktuasi. Fluktuasi terjadi untuk bea masuk maupun bea keluar.

Fluktuasi dapat pula diamati dalam konteks PNBP. Penyumbang PNBP yang terbesar adalah penerimaan sumber daya alam (SDA), kemudian diikuti oleh PNBP lainnya, bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU). Berbeda dengan kondisi yang terjadi pada pajak penghasilan, penerimaan SDA migas jauh lebih besar jika dibandingkan dengan penerimaan SDA non migas. Penerimaan dari minyak bumi masih mendominasi penerimaan SDA migas, sedangkan penerimaan SDA dari gas alam masih perlu terus ditingkatkan. Sedangkan penerimaan SDA non migas didominasi oleh pertambangan umum.

5.    Belanja Pemerintah Pusat

Belanja pemerintah pusat dapat secara umum diklasifikasikan berdasarkan jenis, fungsi, dan organisasi. Jenis-jenis belanja meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Sejalan dengan peningkatan aktivitas administrasi pemerintahan, upaya percepatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan publik, semua jenis belanja mengalami peningkatan selama kurun 2005-2011. Pengecualian terjadi pada subsidi, baik untuk subsidi energi maupun non energi, dan belanja lain-lain.

Apabila dilakukan perbandingan di antara jenis belanja, terlihat bahwa pangsa terbesar dana belanja pemerintah pusat diserap oleh subsidi. Fakta ini membuktikan bahwa aktivitas pembangunan di Indonesia masih bergantung kepada dana dari pemerintah. Pada tahun 2011, pemerintah merencanakan untuk menurunkan subsidi. Di posisi selanjutnya adalah belanja pegawai, kemudian diikuti oleh belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, bantuan sosial, belanja lain-lain, dan belanja hibah.

Jika diamati menurut fungsinya, diketahui bahwa pelayanan umum mengkonsumsi porsi terbesar dari belanja pemerintah pusat, meskipun dirancang sedikit menurun pada tahun 2011. Belanja untuk fungsi pelayanan umum tercatat jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan alokasi untuk fungsi pendidikan yang menempati urutan kedua. Setelah selama kurun 2005-2010 senantiasa meningkat, alokasi belanja untuk fungsi pendidikan juga dirancang sedikit menurun di tahun 2011.

Kondisi yang sebaliknya terjadi dalam hal belanja pemerintah pusat untuk fungsi ekonomi. Pada tahun 2011, belanja untuk fungsi ekonomi dirancang untuk meningkat pesat jika dibandingkan dengan tahun 2010. Peningkatan ini melanjutkan tren meningkat yang telah berlangsung sejak tahun 2005.

Fungsi lainnya yang mendapatkan alokasi belanja pemerintah pusat cukup besar adalah pertahanan serta perumahan dan fasilitas umum. Setelah mengalami penurunan cukup besar pada tahun 2008, alokasi belanja untuk fungsi pertahanan senantiasa meningkat sejak tahun 2009. Sedangkan alokasi belanja untuk perumahan dan fasilitas umum belum pernah mengalami penurunan pada periode 2005-2011.

Dari segi organisasi, Kementerian Pendidikan Nasional merupakan instansi pemerintah yang mempunyai belanja pemerintah pusat terbesar. Di urutan selanjutnya adalah Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pekerjaan Umum. Instansi pemerintah pusat lainnya yang mendapatkan porsi belanja yang besar diantaranya adalah Kementerian Agama, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementerian Kesehatan.

 6.    Subsidi

Todaro dan Smith (2003: 811) mendefinisikan subsidi sebagai:
“A payment by the government to producers or distributors in an industry to prevent the decline of that industry (e.g., as a result of continuous unprofitable operations) or an increase in the prices of its products or simply to encourage it to hire more labor (as in the case of a wage subsidy). Examples are export subsidies to encourage the sale of exports; subsidies on some foodstuffs to keep down the cost of living, especially in urban areas; and farm subsidies to encourage expansion of farm production and achieve self-reliance in food production”.
Sedangkan menurut Gruber (2010: 136), “Subsidy is the government payment to an individual or firm that lowers the cost of consumption or production, respectively”.

Meskipun telah melakukan berbagai upaya, namun alokasi APBN untuk subsidi masih akan meningkat di tahun 2011. Sebaliknya, alokasi anggaran untuk subsidi listrik direncanakan menurun. Jenis subsidi lainnya yang dirancang untuk mendapatkan alokasi anggaran yang meningkat pada tahun 2011 adalah subsidi pangan, dan public service obligation (PSO).

7.    Transfer Ke Daerah

Transfer ke daerah merupakan perwujudan dari kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001. Dalam kurun waktu 2005-2011, jumlah dana perimbangan maupun dana otonomi khusus dan penyesuaian selalu meningkat setiap tahun. Peningkatan ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat untuk memberikan sumber daya keuangan yang lebih besar kepada pemerintahan di daerah mengikuti pelimpahan kewenangan.

Dari tiga komponen dana perimbangan, terlihat bahwa dana bagi hasil (DBH) diperkirakan menurun pada tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010, sedangkan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) mengalami peningkatan. Sedangkan dana otonomi khusus (Otsus) dan dana penyesuaian juga dirancangn untuk meningkat pada tahun 2011.

Meskipun telah terjadi peningkatan aliran dana dari pusat ke daerah yang signifikan, namun banyak penelitian empirik (misalnya Harjowiryono, 2009) menunjukkan bahwa tambahan dana tersebut belum dapat digunakan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di banyak daerah. Hal ini disebabkan oleh beragam kendala yang dihadapi, seperti terbatasnya kualitas SDM dan kondisi geografi wilayah. Meskipun, terdapat pula daerah-daerah yang telah mampu menunjukkan peningkatan kinerja pembangunan yang pesat, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan pendapatan masyarakat.

 8.    Pembiayaan APBN

Dengan adanya defisit anggaran, maka pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk membiayai defisit tersebut. Jenis pembiayaan yang dilakukan dapat dikategorikan menjadi pembiayaan dalam negeri dan pembiayaan luar negeri. Pembiayaan dalam negeri bersumber dari perbankan dalam negeri dan non perbankan dalam negeri. Adapun pembiayaan luar negeri meliputi penarikan pinjaman luar negeri, penerusan pinjaman, dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.

Perkembangan selama periode 2005-2011 menunjukkan bahwa pemerintah lebih memfokuskan pembiayaan anggaran kepada pembiayaan dalam negeri dan semakin mengurangi ketergantungan kepada utang luar negeri, meskipun pada tahun 2011 diperkirakan menurun. Salah satu komponen pembiayaan non perbankan dalam negeri yang bertumbuh pesat adalah surat berharga negara (SBN). Pada tahun 2010, jumlah SBN telah mencapai Rp 107,5 triliun dan dirancang untuk meningkat menjadi Rp 125,5 triliun pada tahun 2011.

9.    Penutup

APBN merupakan instrumen pemerintah yang dirancang untuk mendukung fungsi administrasi pemerintahan, fasilitasi pembangunan, dan pelayanan publik. Perhitungan APBN dalam prakteknya dilandasi oleh penetapan asumsi ekonomi makro yang cenderung membaik pada periode 2005-2011.

Pendapatan negara mengalami peningkatan yang signifikan dalam kurun 2005-2011, terutama penerimaan perpajakan. Hal yang sama terjadi pula dalam konteks belanja negara, baik belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah. Pemerintah pusat dari waktu ke waktu telah mengalokasikan dana yang lebih besar kepada pemerintahan daerah.

Dengan belanja negara yang melebihi pendapatan negara, maka APBN menanggung defisit anggaran yang pembiayaannya difokuskan melalui sumber-sumber di dalam negeri, khususnya SBN. Selain itu, pemerintah masih menyediakan dana untuk subsidi energi maupun non energi.

Referensi

Anonim, 2010. Data Pokok APBN 2005-2011. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.
Anonim, 2010. Nota Keuangan dan RAPBN 2011. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.
Dornbusch, Rudiger, Stanley Fischer, and Richard Startz, 2004. Macroeconomics, Ninth Edition. Boston: McGraw-Hill.
Gruber, Jonathan, 2010. Public Finance and Public Policy, Third Edition. New York: Worth Publishers.
Harjowiryono, Marwanto, 2009. Kebijakan Penganggaran dan Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia. Disertasi, tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith, 2003. Economic Development, Eight Edition. Boston: Addison-Wesley.