Senin, 20 September 2010

BELAJAR DARI PAUL KRUGMAN: KEMBALINYA DEPRESI EKONOMI DAN KRISIS 2008*

*Disadur dari buku “The Return of Depression Economics and the Crisis of 2008”
yang ditulis oleh Paul Krugman, Penerima Hadiah Nobel Ekonomi Tahun 2008

Dr. Roberto Akyuwen
Balai Diklat Keuangan Yogyakarta


Perekonomian dunia tidak berada dalam kondisi depresi dan tidak ingin jatuh ke dalam depresi, meskipun ukuran krisis baru-baru ini terjadi cukup besar. Tetapi, tatkala depresi ekonomi tidak terulang, persoalan-persoalan yang muncul memiliki karakteristik yang mirip dengan perekonomian dunia pada tahun 1930-an, sehingga menunjukkan kecederungan bahwa depresi ekonomi akan kembali terjadi. Lima belas tahun lalu, semua orang berpikir negara-negara modern akan tertahan dalam keadaan resesi, karena ketakutan terhadap spekulator mata uang. Di samping itu, banyak negara maju tidak dapat melakukan belanja secara memadai untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja dan produksi. Perekonomian dunia telah berubah menjadi tempat yang lebih berbahaya dari yang dibayangkan sebelumnya.
Pertanyaannya adalah hal apa yang membuat dunia menjadi lebih berbahaya? Atau, lebih penting lagi, bagaimana kita keluar dari krisis yang sedang berlangsung, dan apa yang dapat segera kita lakukan untuk mencegah krisis tersebut?

Apa Itu Depresi Ekonomi?
Apa yang dimaksudkan dengan depresi ekonomi datang lagi? Untuk pertama kali dalam dua generasi, kegagalan sisi permintaan (demand side) dari perekonomian telah membatasi kesejahteraan di sebagian besar belahan dunia. Kegagalan sisi permintaan terjadi ketika pengeluaran swasta tidak cukup untuk memanfaatkan kapasitas produktif yang tersedia di dalam perekonomian.
Para ekonom, pembuat kebijakan, dan masyarakat terdidik tidak siap menghadapi kondisi tersebut. Ekonomika sisi penawaran (supply side economics) merupakan suatu doktrin yang hanya sedikit berpengaruh jika tidak menarik kalangan editor dan orang kaya. Setelah melewati beberapa dekade, terdapat pergeseran pemikiran ekonomi dari sisi permintaan menjadi sisi penawaran.
Pergeseran tersebut merupakan hasil pertentangan teoritis dalam ilmu ekonomi yang tersaring secara gradual dan terkadang membingungkan. Sumber pertentangan adalah bahwa penurunan permintaan akan membaik dengan sendirinya hanya jika upah dan harga-harga turun dengan cepat. Faktanya, harga-harga tidak turun dengan cepat dalam resesi dan para ekonom tidak sepakat mengenai penyebabnya. Terjadi perang akademik yang membuat diskusi mengenai resesi dan penyebabnya menjadi ranjau yang dihindari oleh para ekonom. Dengan kondisi tersebut, masyarakat menyimpulkan bahwa para ekonom tidak memahami resesi atau bahwa sisi permintaan telah dikucilkan. Hal yang sebenarnya terjadi adalah versi lama ekonomi makro sisi permintaan memiliki banyak aspek yang dapat ditawarkan untuk keadaan yang tidak menyenangkan. Namun, penganjur sisi permintaan kurang meyakinkan dibandingkan para pengkritiknya.
Sekalipun kelemahan teoritis ekonomika sisi permintaan merupakan alasan untuk tidak siap dengan isu depresi, namun banyak praktek yang berhasil. Sepanjang beberapa dekade perdebatan ekonom mengenai apakah kebijakan moneter dapat digunakan untuk membebaskan perekonomian dari resesi, bank sentral berulangkali menggunakannya secara efektif. Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) dan mitranya di negara-negara lain selalu dapat menurunkan tingkat bunga untuk menjaga belanja tetap tinggi. Sebaliknya, dalam jangka pendek, satu-satunya keterbatasan yang dimiliki adalah kemampuan perekonomian untuk menghasilkan barang dan jasa, yaitu sisi penawaran.
Banyak ekonom hingga saat ini berpikir bahwa resesi merupakan suatu isu kecil. Robert Lucas mengungkapkan siklus bisnis (business cycle) tidak lagi merupakan subyek yang penting dan para ekonom sebaiknya menggeser perhatian kepada kemajuan teknologi dan pertumbuhan jangka panjang. Pandangan ini merupakan isu penting dan memang akan terjadi dalam jangka panjang, tetapi seperti diingatkan oleh Keynes, dalam jangka panjang kita semuanya mati (in the long run we are all dead).
Dunia dalam jangka pendek digoyang dari satu krisis ke krisis yang lain dan semuanya melibatkan persoalan menciptakan permintaan yang mencukupi. Sebagai bukti empirik adalah krisis yang dialami Jepang pada awal tahun 1990-an, Meksiko pada 1995, Meksiko, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Korea pada 1997, Argentina pada 2002, dan baru saja semua negara pada tahun 2008. Negara demi negara telah mengalami resesi yang secara temporer. Respons pemerintah melalui kebijakan konvensional sepertinya tidak berdampak, sehingga sangat penting mempertanyakan cara menciptakan permintaan yang cukup untuk memanfaatkan kapasitas ekonomi. Depresi ekonomi telah kembali.

Apa Yang Harus Dilakukan? Penyelamatan Keuangan
Apa yang dibutuhkan dunia sekarang adalah suatu operasi penyelamatan. Sistem kredit global berada dalam kondisi lumpuh dan kemunduran global sedang berlangsung. Reformasi untuk menangani berbagai kelemahan akibat krisis sangat penting, namun pertama-tama, ancaman yang ada harus diamati dan ditangani dengan cermat. Untuk melakukannya, para pembuat kebijakan di seluruh dunia perlu mendorong kredit untuk mengalir lagi dan meningkatkan belanja publik.
Tugas pertama lebih berat dibandingkan kedua, tetapi harus segera dilakukan. Dalam banyak pemberitaan, bencana lebih berat dapat ditimbulkan oleh pembekuan kredit. Sebagai contoh adalah pemberitaan mengenai gagalnya letter of credit, yaitu metoda pembiayaan untuk perdagangan antarnegara. Para importir, khususnya di negara-negara berkembang, tidak dapat menjalankan bisnis. Contoh kasus adalah turunnya Baltic Dry Index hingga 89 persen yang merupakan ukuran biaya transportasi yang digunakan secara luas di dunia.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi membekunya kredit adalah kombinasi antara penurunan kepercayaan dan merosotnya modal lembaga-lembaga keuangan. Lembaga keuangan tidak ingin melakukan transaksi dengan seseorang hingga orang yang bersangkutan mempunyai modal yang cukup untuk mendukung janjinya. Krisis telah menghabiskan modal di berbagai lembaga keuangan.
Solusi yang nyata adalah dengan menyediakan lebih banyak modal. Langkah ini merupakan respons standar dalam krisis keuangan. Pada tahun 1933, pemerintahan Presiden Roosevelt di Amerika Serikat menggunakan Reconstruction Finance Corporation untuk mengkapitalisasi bank-bank dengan membeli saham yang mampu mendatangkan profit. Ketika Swedia mengalami krisis keuangan pada awal 1990-an, pemerintah menyediakan modal tambahan bagi bank-bank yang setara 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai ekuivalennya saat ini berkisar AS$ 600 miliar. Modal tambahan tersebut sebagian dikompensasi dengan kepemilikan saham pada bank-bank. Pada saat Jepang melakukan penyelamatan terhadap bank-banknya pada tahun 1998, pemerintah membeli saham sejumlah lebih dari AS$ 500 miliar yang setara dengan suntikan modal di Amerika Serikat sebesar AS$ 2 triliun. Pada masing-masing kasus, penyediaan modal membantu bank-bank menyalurkan kredit kembali.
Penyelamatan keuangan saat ini sedang berlangsung di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Setelah jatuhnya Lehman Brothers, Departemen Keuangan Amerika Serikat mengusulkan pembelian AS$ 700 miliar aset-aset bermasalah yang dimiliki bank-bank dan lembaga keuangan lainnya. Namun, tidak jelas bagaimana langkah ini dapat membantu mengatasi situasi. Jika Departemen Keuangan membeli aset-aset pada nilai pasar, maka hanya sedikit membantu kondisi modal bank-bank yang bermasalah. Sedangkan jika aset-aset dibeli di atas harga pasar, maka dapat dituduh membuang uang para pembayar pajak dengan percuma. Setelah tidak mampu diputuskan dalam tiga minggu, Amerika Serikat mengikuti langkah Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, yaitu menjalankan skema rekapitalisasi.
Terdapat tiga alasan untuk menyangsikan efektivitas dari langkah yang ditempuh. Pertama, sekalipun AS$ 700 miliar sepenuhnya digunakan untuk rekapitalisasi (sejauh ini hanya sebagian yang digunakan untuk rekapitalisasi), jumlah tersebut masih relatif kecil terhadap PDB jika dibandingkan dengan bailout yang dilakukan Jepang. Padahal, keparahan krisis keuangan di Amerika Serikat dan Eropa hampir setara dengan yang dulu dialami Jepang. Kedua, tidak jelas bagaimana bagian terbesar dana talangan akan menjangkau sistem lembaga keuangan bukan bank (shadow banking system) yang menjadi inti permasalahan. Ketiga, tidak jelas apakah bank-bank akan mempunyai keinginan untuk menyalurkan dana talangan tersebut dan tidak sekedar menyimpannya.
Rekapitalisasi diduga akan semakin besar dan meluas dan membutuhkan kendali pemerintah yang lebih ketat. Langkah ini bukan merupakan tujuan jangka panjang, karena sistem keuangan harus diprivatisasi kembali jika kondisi telah memungkinkan, seperti dilakukan Swedia setelah melakukan bailout besar-besaran tehadap perbankan pada awal 1990-an. Tetapi, yang perlu segera dilakukan adalah menyalurkan kredit tanpa terikat dengan ideologi tertentu. Tidak ada yang dapat menjadi lebih buruk dari kegagalan tindakan menyelamatkan sistem keuangan.
Pendekatan lainnya adalah memecahkan persoalan credit crunch, yaitu dengan melibatkan bank sentral di dalam bisnis untuk menyalurkan pinjaman kepada sektor non-keuangan. Kebijakan Federal Reserve membeli surat berharga (commercial paper) merupakan langkah penting, tetapi masih dibutuhkan upaya-upaya lainnya.
Semua langkah yang ditempuh pemerintah Amerika Serikat harus dikoordinasikan dengan negara-negara maju yang lain, karena adalah globalisasi keuangan. Sebagian penyelamatan sistem keuangan Amerika Serikat membantu penyaluran kredit ke Eropa. Sebaliknya, upaya penyelamatan di Eropa akan meningkatkan penyaluran kredit ke Amerika Serikat. Semua negara harus melakukan hal yang hampir sama.
Sebaran krisis keuangan ke emerging markets, seperti China, Korea Selatan, India, dan negara-negara di Asia Tenggara, membuat penyelamatan bagi negara-negara berkembang merupakan solusi krisis. International Monetary Fund (IMF) menyediakan pinjaman kepada negara-negara menghadapi persoalan, seperti Ukraina, dengan pendekatan yang lebih baik dibandingkan ketika mengatasi krisis di Asia pada 1990-an. Sementara itu, Federal Reserve menyediakan dana untuk dipinjam oleh bank-bank sentral dari beberapa negara emerging-markets. Upaya rekapitalisasi yang dilakukan merupakan langkah yang tepat, tetapi terlalu kecil, sehingga perlu ditingkatkan.
Sekalipun jika penyelamatan sistem keuangan mulai menghidupkan pasar kredit, momentum kemerosotan global tetap masih berlangsung. Apa yang harus dilakukan dengan kondisi tersebut? Jawabannya hampir pasti adalah stimulus fiskal yang telah lama dianjurkan oleh penganut Keynesian.
Amerika Serikat mencoba menjalankan stimulus fiskal pada awal tahun 2008. Pemerintahan Bush dan anggota Kongres dari Partai Demokrat memandangnya sebagai suatu rencana bagi lompatan perekonomian, namun hasilnya mengecewakan. Pertama, stimulus yang disediakan terlalu kecil, yaitu hanya sekitar 1 persen dari PDB. Stimulus selanjutnya harus lebih besar, misalnya 4 persen dari PDB. Kedua, kebanyakan dana stimulus fiskal berbentuk potongan pajak (tax rebates) yang lebih banyak disimpan dibandingkan disalurkan. Rencana berikutnya harus difokuskan pada perluasan belanja pemerintah dan membantu pemerintah daerah. Belanja pemerintah diarahkan untuk kegiatan pembangunan jaringan jalan, jembatan, dan infrastruktur lainnya.
Persoalan umum yang dihadapi belanja publik sebagai stimulus ekonomi adalah lamanya penyaluran, sehingga ketika belanja direalisasikan, peningkatan permintaan telah berlangsung dan kemerosotan ekonomi telah berakhir. Tetapi, pemulihan ekonomi secara cepat sulit terjadi, meskipun gelembung baru yang tidak terduga muncul untuk menggantikan gelembung perumahan (housing bubble). Selama belanja publik didorong secara cepat, masih tersedia waktu untuk membantu perekonomian.
Sebagian pembaca dapat memprotes bahwa Jepang melakukan stimulus fiskal melalui belanja pekerjaan umum pada tahun 1990-an. Belanja publik di Jepang mampu mencegah perekonomian yang lemah untuk masuk ke dalam depresi. Terdapat alasan untuk meyakini bahwa stimulus belanja publik dapat berjalan lebih baik di Amerika Serikat, jika dilakukan dengan tepat, dibandingkan di Jepang. Jepang menunggu terlalu lama untuk merekapitalisasi sistem perbankan, sehingga terjebak di dalam perangkap ekspektasi deflasi. Fenomena ini merupakan kesalahan yang diharapkan tidak terulang.

Reformasi Keuangan
“Kita mempunyai persoalan besar (magneto trouble)”, kata John Maynard Keynes pada awal Depresi Besar (Great Depression). Kebanyakan mesin ekonomi dalam kondisi prima, tetapi sistem keuangan tidak bekerja. Ia juga mengatakan, “Kita telah terlibat dalam kekacauan kolosal (colossal muddle) dan ceroboh dalam mengendalikan pekerjaan yang tidak kita pahami”. Kedua pernyataan menjadi kenyataan saat ini.
Bagaimana kekacauan besar kedua timbul? Setelah Great Depression, mesin ekonomi kembali dirancang untuk menghindari bencana besar. Bank sebagai bagian dari sistem yang tidak berfungsi pada tahun 1930-an dijalankan di bawah regulasi ketat dan didukung jaring pengaman yang kuat (strong safety net). Pergerakan modal antarnegara yang menjadi penyebab ketidakteraturan pada tahun 1930-an juga dibatasi. Sistem keuangan menjadi sedikit membosankan tetapi lebih aman.
Berbagai hal kembali menjadi menarik dan berbahaya. Pertumbuhan aliran modal internasional memasuki tahap krisis mata uang pada 1990-an dan krisis keuangan global pada 2008. Pertumbuhan lembaga keuangan bukan bank, tanpa perluasan regulasi untuk menatanya, terjadi dengan masif, namun kemudian ternyata mengalami kehancuran.
Apa yang akan kita lakukan adalah belajar kembali dari pengalaman kakek-kakek kita yang mendapatkan pelajaran dari Great Depression. Prinsip dasar yang dipegang  seharusnya jelas, yaitu segala sesuatu yang harus diselamatkan selama krisis keuangan, karena memainkan peran penting dalam mekanisme keuangan, harus diatur pada saat tidak terjadi krisis, sehingga tidak menyebabkan resiko yang berlebihan. Sejak tahun 1930-an, bank komersial disyaratkan memiliki modal yang cukup (adequate capital), yaitu menahan cadangan aset-aset likuid yang dapat dengan cepat dikonversi menjadi dana tunai. Di samping itu, juga diwajibkan membatasi investasi dan harus dijamin apabila terjadi peristiwa yang tidak diharapkan. Kita telah melihat kiprah lembaga keuangan bukan bank yang menjadi penyebab krisis perbankan. Regulasi harus diperluas untuk menata bagian terbesar dari sistem keuangan.
Kita juga harus berpikir keras untuk menghadapi globalisasi keuangan. Setelah krisis di Asia pada 1990-an, terdapat keinginan memberlakukan restriksi jangka panjang bagi aliran modal antarnegara dan tidak hanya pengendalian temporer pada saat krisis. Keinginan ini ditolak banyak negara yang lebih menginginkan peningkatan cadangan devisa dalam jumlah besar yang diperkirakan mampu mengatasi krisis di masa yang akan datang. Strategi ini tidak akan berjalan dengan baik. Bagi negara-negara seperti Brasil dan Korea Selatan, strategi tersebut bagaikan mimpi buruk. Setelah apa yang telah dilakukan, mereka harus kembali berjuang untuk melewati krisis 1990-an. Globalisai keuangan jelas menjadi lebih berbahaya dari yang kita bayangkan.

Kekuatan Ide
Kita hidup di dalam era baru depresi ekonomi. Pernyataan ini sejalan dengan John Maynard Keynes yang pertama kali menyatakan terjadinya Great Depression. Keynes menuliskan kesimpulan dalam “The General Theory of Employment, Interest and Money” bahwa “Cepat atau lambat, adalah ide, dan bukan kepentingan-kepentingan (vested interests), yang berbahaya bagi kebaikan atau kejahatan”.
Kita dapat berbeda pendapat dengan kesimpulan Keynes, tetapi dalam kondisi seperti saat ini, memang demikian adanya. “Tidak ada makan siang yang gratis” (There is no free lunch), karena sumber daya yang terbatas, sehingga kita dapat berlebihan dalam hal tertentu, tetapi kekurangan dalam hal lainnya. Tidak ada perolehan manfaat tanpa penderitaan. Depresi ekonomi merupakan studi mengenai situasi makan siang gratis, karena terdapat sumber daya menganggur yang dapat dimanfaatkan. Kelangkaan dalam Keynesian bukan mengenai sumber daya atau kebaikan, melainkan pemahaman.
Kita tidak akan mencapai pemahaman yang dibutuhkan tanpa keinginan untuk berpikir jernih mengenai persoalan yang dihadapi dan mengikuti pemikiran yang ada. Sebagian orang mengatakan persoalan ekonomi bersifat struktural, tanpa penyembuhan yang cepat. Tetapi, satu-satunya rintangan struktural yang penting bagi kesejahteraan dunia adalah doktrin-doktrin lama yang dapat menyesatkan pemikiran seseorang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar