Meskipun berlangsung di tengah-tengah cuaca yang kurang bersahabat, namun agenda demi agenda Sail Banda 2010 berlangsung lancar dan semoga terus mulus hingga puncaknya pada 17 Agustus 2010 yang akan datang.
Salah satu fenomena yang menarik di antara guyuran hujan adalah mambanjirnya janji-janji dari petinggi negara untuk menggelorakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Maluku. Janji demi janji tersebut terakumulasi menjadi segudang harapan bagi segenap masyarakat di negeri kepulaunan ini.
Apakah “kali ini” janji-janji akan dipenuhi dengan pemberpihakan dan upaya nyata dari Pemerintah Pusat? Patut kita tunggu bersama-sama!
Jika aparat Pemerintah Provinsi Maluku maupun Pemerintah Kabupaten/Kota se-Maluku menyuarakan optimisme, namun sebaliknya, sangatlah wajar jika masyarakat memendam pesimisme! Demikian pula jika akademisi dan organisasi non-pemerintah menyambutnya dengan kritis.
Mengapa harus pesimis dan kritis? Mari kita ulas berdasarkan data dan fakta dari salah satu aspek saja, yaitu hubungan keuangan di antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Alokasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai gambaran perhatian dan fokus kementerian teknis terhadap wilayah tertentu.
Alokasi dana dekonsentrasi untuk Provinsi Maluku pada tahun 2006 adalah Rp 1,08 triliun atau 4,3 persen dari total Dana Dekonsentrasi yang dialokasikan untuk 33 provinsi di Indonesia. Pada tahun 2007, alokasi Dana Dekonsentrasi untuk Provinsi Maluku menurun menjadi Rp 1,03 triliun atau 4,2 persen dari total Dana Dekonsentrasi. Kondisi ini berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya yang pada umumnya mengalami kenaikan alokasi Dana Dekonsentrasi dari tahun ke tahun. Di samping itu, sebagai wilayah kepulauan, ternyata Provinsi Maluku tidak mendapatkan perhatian khusus dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kondisi yang lebih buruk terjadi dalam hal alokasi Dana Tugas Pembantuan. Jika pada tahun 2006 Provinsi Maluku menerima Dana Tugas Pembantuan sebesar Rp 370,33 miliar atau 6,6 persen, maka pada tahun 2007 jumlah tersebut menurun menjadi Rp 433,92 miliar atau 4,6 persen dari total Dana Tugas Pembantuan untuk 33 provinsi.
Penurunan alokasi kedua dana sebenarnya merupakan fenomena yang kurang bisa dipahami, karena dalam Rekomendasi Menteri Keuangan disebutkan bahwa Provinsi Maluku termasuk dalam Prioritas I untuk menerima Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Selain itu, terdapat fakta bahwa Indonesia adalah negara yang paling agresif di dunia dalam hal menerapkan desentralisasi fiskal. Sayangnya, transfer dana Pusat ke Daerah yang semakin melimpah tersebut bukan untuk Provinsi Maluku.
Mengapa persoalan anggaran menjadi sangat penting bagi Provinsi Maluku?
Dengan lugas dapat dijawab bahwa kapasitas fiskal Provinsi Siwalima ini amat terbatas, sehingga menjadi kendala struktural dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, termasuk konservasi dan eco-tourism yang sedang menjadi tren wisata global.
Kapasitas fiskal neto Provinsi Maluku hanya Rp 712 miliar pada tahun 2008. Kapasitas fiskal neto adalah sisa anggaran yang tersedia untuk pembangunan setelah dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bersifat administratif atau belanja pegawai.
Jika dibagi dengan jumlah penduduk dan diperhitungkan dengan indeks kemahalan konstruksi agar setara untuk seluruh Indonesia, maka diperoleh angka kapasitas fiskal riil per kapita Provinsi Maluku sebesar 2,31. Maknanya adalah bahwa setiap penduduk di Provinsi Maluku mendapatkan bagian kue pembangunan sebesar Rp 2,31 juta per tahun. Angka ini masih di bawah rata-rata nasional, yaitu 2,98, sehingga menempatkan Provinsi Maluku di urutan ke 22 dari 33 provinsi di Indonesia.
Biasanya seorang Ibu/Bapak yang sayang kepada seorang Anak tertentu akan memberikan porsi kue yang lebih besar kepada Anak yang bersangkutan dibandingkan Anak-Anak lainnya, sebagai bentuk perhatian yang lebih besar! Atau paling tidak Sang Ibu/Bapak akan berlaku adil! Jadi, bagaimana dengan Provinsi Maluku?
Sebagai perbandingan, angka kapasitas fiskal riil per kapita di Provinsi Papua dan Papua Barat jauh melambung di atas Provinsi Maluku. Setiap penduduk di Provinsi Papua dan Papua Barat bahkan bisa menikmati bagian kue pembangunan hingga lebih dari Rp 80 juta per tahun.
Hal penting lainnya adalah mempertanyakan komitmen Pemerintah Provinsi Maluku sendiri terhadap pengembangan kelautan dan perikanan. Penulis mendorong akademisi dan pemerhati lainnya untuk mencermati, apakah proporsi alokasi anggaran di Pemerintah Provinsi Maluku sudah lebih banyak diperuntukkan bagi instansi yang menangani kelautan dan perikanan? Jika belum, apa kata dunia!
Dengan kondisi seperti demikian, sangat wajar jika kontribusi Provinsi Maluku terhadap perekonomian nasional dari tahun ke tahun tidak berubah, yaitu sangat kecil dan secara jujur mungkin dapat dikatakan “memalukan” sebagai salah satu provinsi yang sudah hadir di Nusantara sejak Kemerdekaan. Antara tahun 2004 hingga 2008, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Maluku atas dasar harga riil tahun 2000 memang meningkat dari Rp 2,49 triliun menjadi Rp 2,87 triliun. Sayangnya, karena pertumbuhan ekonomi di provinsi lainnya lebih pesat, maka selama 5 tahun berturut-turut kontribusi Provinsi Maluku setiap tahunnya hanya konstan di angka 0,19 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Nah, dengan momentum Sail Banda 2010 yang dikaitkan dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sudah sepantasnya semua komitmen Pemerintah Pusat diejawantahkan menjadi langkah-langkah nyata. Keberpihakan merupakan “harga mati“ sebagai indikator perhatian yang lebih besar. Selain itu, masyarakat Maluku sendiri juga harus mau dan mampu mengarahkan segenap daya upayanya untuk memajukan sektor maritim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar