Dr. Roberto Akyuwen
Widyaiswara Madya pada Balai Diklat Keuangan Yogyakarta
Keuangan negara atau keuangan publik memainkan peran penting untuk mendukung pemerintah dalam menjalankan fungsi penataan administrasi pemerintahan, fasilitasi pembangunan, dan pelayanan publik. Definisi keuangan negara menurut Pasal 1 butir 1 UU No. 17 Tahun 2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Adapun secara teoritis, menurut Gruber (2010: 3), public finance is the study of the role of the government in the economy.
Keuangan negara sebagai suatu sistem terdiri dari sisi penerimaan dan pengeluaran yang keduanya saling melengkapi. Semakin tinggi penerimaan negara, maka semakin besar pula dana yang tersedia untuk mememenuhi kebutuhan belanja pemerintah, khususnya untuk menjalankan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Meskipun pangsa belanja pemerintah relatif kecil terhadap perekonomian nasional yang direpresentasikan oleh Produk Domestik Bruto (PDB), namun belanja pemerintah sebagai suatu instrumen kebijakan publik mempunyai kemampuan untuk mengarahkan penggunaan sumber daya nasional yang dimiliki masyarakat, termasuk dunia usaha.
Sebagai institusi yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mendapatkan kewenangan untuk menata sistem keuangan negara, Kementerian Keuangan telah melakukan Reformasi Birokrasi yang difokuskan pada tiga pilar yang sekaligus menjadi indikator kinerja utama, yaitu penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, serta peningkatan disiplin dan manajemen sumber daya manusia (SDM). Pilar-pilar Reformasi Birokrasi tersebut telah dijalankan secara konsisten oleh semua unit kerja dalam rangka mencapai tata pemerintahan yang lebih baik, kinerja yang semakin meningkat, dan pelayanan publik yang lebih optimal. Beberapa hasil nyata telah dapat dilihat, meskipun terdapat pandangan bahwa kinerja yang dicapai belum setara dengan peningkatan remunerasi bagi pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan.
Pandangan tersebut seolah-olah mendapatkan pembenaran dengan merebaknya kasus makelar dalam pungutan pajak yang dilakukan oleh oknum pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kasus pajak merupakan bukti empirik berlakunya pepatah lama yang berbunyi “gara-gara nila setitik rusaklah susu sebelanga”. Keteladanan Kementerian Keuangan yang menjadi pionir Reformasi Birokrasi mendapatkan tantangan berat. Sebagian pihak menarik kesimpulan dini bahwa Reformasi Birokrasi tidak efektif dan sebagian lainnya mempunyai perspektif yang berbeda, yaitu bahwa terbukanya makelar kasus pajak sebagai buah dari penerapan Reformasi Birokrasi.
Sambil menunggu penyelesaian makelar kasus pajak yang telah memasuki ranah hukum, di samping dalam konteks tertentu juga menyentuh lini politik, patut dicermati peluang terjadinya hal yang serupa di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Mengapa demikian? Pertama, moral hazard yang dilakukan pegawai di lingkungan DJBC merupakan “cerita lama” yang berkembang di masyarakat. Bahkan sebagian anggota masyarakat meyakini bahwa jejaring korupsi di bea dan cukai jauh melebihi yang terjadi di pajak. Benarkah demikian? Kedua, terdapat banyak titik di dalam praktek bea dan cukai yang memungkinkan terjadinya pelanggaran dalam bentuk pungutan ilegal. Titik-titik tersebut dapat dikelompokkan menjadi pra pelayanan, pelayanan, dan pasca pelayanan.
Langkah-langkah strategis sebenarnya telah banyak dilakukan DJBC dalam rangka meningkatkan kinerjanya dan sekaligus mengatasi kemungkinan penyimpangan di lingkungan pegawainya. Sebagai contoh adalah penerapan National Single Window (NSW) dan pengoperasian Layanan Kepelabuhanan dan Kepabeanan selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Upaya tersebut mendapatkan apressiasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah meresmikan penerapan NSW di 5 pelabuhan (Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Belawan, dan Bandara Soekarno-Hatta) serta pelayanan 24 jam di 4 pelabuhan (Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Bandara Soekarno-Hatta). NSW merupakan suatu sistem yang dikembangkan untuk melayani kepengurusan dokumen kepabeanan dan perizinan impor secara elektronik, sehingga mengurangi bottle neck dan menyediakan data transaksi perdagangan luar negeri secara lebih valid dan akurat.
Kinerja DJBC sangat penting sebagai unit yang memberikan kontribusi signifikan bagi penerimaan negara bersama-sama dengan DJP. Selain itu, DJBC juga berfungsi sebagai pelindung masyarakat dan fasilitator perdagangan luar negeri. Pemberitaan mengenai keberhasilan aparat DJBC menangkal peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang serta menghadang impor barang ilegal telah sering dimuat media massa. Namun, tidak luput pula pemberitaan beberapa waktu lalu mengenai penggrebekan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangkap basah aparat DJBC yang melakukan pungutan liar.
Fakta tersebut dan ditambah dengan kasus pajak seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi aparat DJBC untuk menjalankan tugas dengan integritas yang tinggi. Dalam suatu Seminar Bulanan mengenai Bea dan Cukai yang diselenggarakan di Balai Diklat Keuangan Yogyakarta pada tanggal 9 April 2010, terungkap bahwa terdapat cukup banyak titik rawan di lapangan yang berpotensi menjadi ajang moral hazard bagi pegawai DJBC. Misalnya, pendekatan “kenali pelanggan” membutuhkan adanya konsultasi dan koordinasi di antara pegawai DJBC dengan pengusaha dalam hal mengkonfirmasikan jenis, volume, dan nilai barang. Selain itu, pemeriksaan fisik yang seringkali masih diperlukan dan proses audit juga menjadi titik-titik rawan.
Secara kelembagaan, isu penting yang perlu dicermati adalah pemberian berbagai bentuk fasilitas dan kemudahan lainnya di bidang kepabeanan, seperti Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan Kawasan Berikat. Bentuk fasilitas, jangka waktu pemberian fasilitas, serta kewajiban menyediakan jaminan perlu dijalankan tidak hanya dengan kompetensi yang tinggi, namun sangat membutuhkan integritas agar tidak terjadi penyalahgunaan dan menimbulkan rasa ketidakadilan. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan pengusaha harus ditegakkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa pandang bulu dan menciptakan ruang untuk negosiasi.
Untuk mengatasi semua persoalan dan kemungkinan penyalahgunaan kewenangan, penyampaian dokumen oleh pengusaha telah dilakukan dengan menggunakan media elektronik, sehingga tidak memerlukan tatap muka dengan petugas DJBC. Pemeriksaan fisik telah pula diupayakan seminimal mungkin. Di samping itu, pengawasan melekat, penegakan standar operasi, peningkatan kepatuhan internal, dan transparansi aliran dokumen merupakan langkah-langkah yang ditempuh oleh DJBC dalam menjaga integritas pegawainya. Semoga kesemuanya dapat membantu memastikan bahwa peningkatan kinerja dan kontribusi DJBC yang sangat penting bagi negara tidak perlu diganggu oleh bertitik-titik nila dalam bentuk morald hazard.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar