Senin, 20 September 2010

KETERTINGGALAN EKONOMI MASYARAKAT MALUKU: Adakah Harapan Perbaikan Pada Pemerintahan Nasional Baru?

DR. ROBERTO AKYUWEN
Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Yogyakarta
Badan Diklat Keuangan, Departemen Keuangan RI

Maluku adalah wilayah yang eksistensinya sangat diakui pada era awal terbentuknya Pemerintah Negara Republik Indonesia pasca perjalanan panjang perjuangan kemerdekaan. Masyarakat yang berasal dari Maluku telah dikenal memiliki karakter “hot blood”, namun sangat loyal dan setia kawan, di samping keunikan-keunikan lainnya, seperti kemampuan “tarik suara” dan berbahasa asing (Belanda dan Inggris). Karakter dan keunikan masyarakat Maluku dalam faktanya sangat mempengaruhi cara pandang dan kedudukan Maluku di mata pemerintahan nasional.
Pengakuan atas penting dan strategisnya eksistensi Maluku dituangkan dalam berbagai wujud. Diantaranya adalah perhatian pemerintah pusat yang besar dalam pelaksanaan pembangunan, hingga “representasi politik” melalui keberadaan “orang-orang pintar Maluku” yang duduk dalam pemerintahan nasional. Namun, seiring perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara dari waktu ke waktu, apakah masih ada komponen yang tersisa dari Maluku yang membuat wilayah ini menjadi penting secara nasional? Seberapa besar pangsa perhatian pemerintah pusat bagi peningkatan kesejahteraan orang Maluku akhir-akhir ini? Apakah masih ada representasi politik dalam pemerintahan, seperti keterwakilan dalam Kabinet?
Biarkan setiap orang Maluku yang “jagoan” dalam mengemukakan pendapat beradu argumentasi! Bisa di kantor, warung kopi, pangkalan taksi, toko, teras rumah, pantai, atau di mana saja! Karena itulah yang beta lihat sejak kecil!
Tulisan ini difokuskan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi kesejahteraan ekonomi masyarakat Maluku. Kondisi kesejahteraan ekonomi dilihat secara relatif, yaitu dengan membandingkannya pada tataran nasional. Beberapa aspek yang dibahas meliputi kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Maluku terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, struktur PDRB Provinsi Maluku, dan pendapatan per kapita penduduk Maluku beserta pertumbuhannya. Selain itu, dianalisis pula pengeluaran per kapita per bulan, konsumsi kalori dan protein per hari, serta kesempatan kerja dan produktivitas pekerja di Provinsi Maluku.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterbitkan pada bulan September 2009 menunjukkan bahwa PDRB Provinsi Maluku pada tahun 2008 adalah Rp 3.787 miliar (atas dasar harga konstan 2000). Angka ini merupakan salah satu yang terkecil di antara provinsi-provinsi lain di Indonesia. Jika diakumulasikan secara nasional, maka kontribusi PDRB Provinsi Maluku hanya setara dengan 0,19 persen dari total PDRB 33 provinsi yang mencapai Rp 1.983.858 miliar. Adapun PDB Indonesia pada tahun yang sama tercatat Rp 2.082.104 miliar. Perbedaan data akumulasi PDRB 33 provinsi dengan PDB Indonesia antara lain disebabkan oleh adanya diskrepansi statistik.
Hal yang perlu dicermati dengan seksama adalah bahwa kontribusi Provinsi Maluku terhadap perekonomian nasional ternyata tidak mengalami perubahan sama sekali dalam 5 tahun terakhir, yaitu selalu konstan pada 0,19 persen sejak tahun 2004 hingga 2008. Kondisi ini sangat logis terjadi, karena pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku lebih sering berada di bawah rata-rata nasional. Bahkan, pada tahun 2008, terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Apakah karena kontribusi yang minim terhadap perekonomian nasional menjadi alasan untuk menganaktirikan Provinsi Maluku?

Tabel 1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Maluku dan Indonesia
Tahun 2004-2008

Provinsi
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
2004
2005
2006
2007
2008
Maluku
4,43
5,07
5,55
5,62
4,23
Total 33 Provinsi
4,25
5,37
5,19
5,63
5,63
Indonesia
5,03
5,69
5,50
6,28
6,06

Sumber: BPS, 2009.

Fakta yang memprihatinkan, kalau bukan menyedihkan, untuk lebih mendramatisir, adalah kenyataan bahwa pendapatan per kapita penduduk Maluku hanya berkisar sepertiga dibandingkan rata-rata penduduk Indonesia. Dari data BPS diketahui bahwa pendapatan per kapita Provinsi Maluku pada tahun 2008 adalah Rp 2.762.000, sedangkan rata-rata pendapatan per kapita 33 provinsi pada tahun yang sama adalah Rp 8.681.000 dan untuk Indonesia tercatat Rp 9.111.000 per kapita. Bukti empirik ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Maluku masih jauh lebih rendah dari yang diharapkan setelah Indonesia telah merdeka 64 tahun.
Apakah tidak terjadi perbaikan dari waktu ke waktu? Memang, data yang tersedia menunjukkan pendapatan per kapita penduduk di Provinsi Maluku selalu meningkat setiap tahun. Sayangnya, peningkatan tersebut selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata 33 provinsi maupun Indonesia. Apakah berarti bahwa dari waktu ke waktu kesejahteraan ekonomi penduduk Maluku secara relatif semakin memburuk dan tertinggal dari penduduk di wilayah Indonesia lainnya? Fakta empirik pada Tabel 1 dan Tabel 2 telah membuktikannya!

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita
Provinsi Maluku dan Indonesia Tahun 2004-2008

Provinsi
Laju Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita (%)
2004
2005
2006
2007
2008
Maluku
2,76
3,34
4,02
4,11
2,75
Total 33 Provinsi
3,02
4,42
3,82
4,28
4,30
Indonesia
3,79
4,73
4,13
4,91
4,73

Sumber: BPS, 2009.

Struktur perekonomian Maluku terutama ditunjang oleh sektor atau lapangan usaha pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Sektor ini menyumbang 31,95 persen dari total PDRB Provinsi Maluku pada tahun 2008. Dua sektor penting lainnya adalah perdagangan, hotel, dan restoran, serta jasa-jasa. Sumbangan sektor perdagangan, hotel, dan restoran pada tahun 2008 mencapai 25,65 persen, sedangkan kontribusi sektor jasa-jasa adalah 18,54 persen dari total PDRB Provinsi Maluku. Dua sektor yang paling minim berkontribusi terhadap perekonomian Provinsi Maluku adalah pertambangan dan penggalian serta listrik, gas, dan air bersih. Dengan pendekatan ekonomi regional, sektor-sektor yang berperan besar atau potensial perlu dipacu pertumbuhannya, sedangkan sektor-sektor yang tertinggal perlu dikelola secara optimal.
Apabila dikaji lebih mendalam, ditemukan bahwa pengeluaran per kapita per bulan penduduk Provinsi Maluku selalu lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional setidaknya sejak tahun 1993 hingga 2008. Pengeluaran per kapita penduduk Maluku pada tahun 1993 tercatat Rp 40.551, sedangkan rata-rata nasional adalah Rp 43.565 per kapita per bulan. Lima belas tahun kemudian, yaitu pada tahun 2008, pengeluaran per kapita penduduk Maluku tercatat Rp 305.380 per bulan, sedangkan rata-rata nasional mencapai Rp 386.370 per kapita per bulan. Pengeluaran per kapita per bulan di Provinsi Maluku yang lebih rendah dari rata-rata nasional terjadi di wilayah perkotaan maupun perdesaan.
Kesenjangan yang semakin melebar dapat digambarkan dengan menghitung rasio antara pengeluaran per kapita per bulan Provinsi Maluku dengan nasional. Jika pada tahun 1993 diketahui rasio tersebut adalah 0,93, maka pada tahun 2008 menjadi 0,79. Berarti bahwa kesenjangan ekonomi semakin melebar di antara Maluku dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Fenomena ini setara dengan ungkapan “penduduk Indonesia bertambah sejahtera secara ekonomi, namun dicapai dengan meninggalkan penduduk Maluku”. Tanpa pembangunan yang akseleratif, diyakini bahwa disparitas (gap) kesejahteraan ekonomi di antara penduduk Maluku dengan rata-rata penduduk Indonesia akan semakin melebar dalam tahun-tahun mendatang.

Tabel 3. Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Provinsi Maluku dan Indonesia Tahun 1993-2008

Provinsi
Pengeluaran Per Kapita (Rp/Bulan)
1993
1996
1999
2002
2005
2008
Maluku
40.591
53.666
115.878
-
226.798
305.380
Indonesia
43.565
69.977
137.453
206.336
286.741
386.370

Sumber: BPS, 2009.

Secara teoritis, pengeluaran per kapita per bulan yang rendah merupakan konsekuensi logis dari pendapatan per kapita yang juga rendah. Rendahnya pengeluaran per kapita yang merupakan representasi dari konsumsi masyarakat akan menjadi kendala bagi upaya memperbaiki tingkat pendapatan regional. Hal ini disebabkan konsumsi merupakan salah satu komponen pembentuk PDRB, selain belanja pemerintah, investasi, dan ekspor netto.
Terbatasnya pengeluaran tidak hanya memberikan dampak terhadap pembentukan perekonomian wilayah, namun lebih jauh lagi berdampak pada lebih rendahnya pemenuhan kebutuhan hidup yang vital. Padahal, kebutuhan hidup yang vital sangat menentukan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk menjalankan pembangunan secara optimal. Sebagai contoh adalah pemenuhan kebutuhan bahan pangan yang tergambar dari konsumsi kalori dan protein.
Tingkat konsumsi kalori per kapita per hari di kalangan penduduk Maluku ternyata hanya lebih tinggi dari rata-rata nasional pada tahun 1993, yaitu 1.883,70 kkal berbanding 1.879,13 kkal. Selanjutnya, sejak tahun 1996 hingga saat ini, konsumsi kalori per kapita per hari penduduk Maluku senantiasa lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Pada tahun 2008, konsumsi kalori per kapita penduduk Maluku adalah 1.939,04 per hari, sedangkan rata-rata penduduk Indonesia telah mengkonsumsi 2.038,17 kalori per hari.
Fenomena yang serupa dijumpai dalam hal konsumsi protein. Data yang tersedia menunjukkan bahwa konsumsi protein penduduk Maluku tidak pernah mampu melampaui rata-rata nasional sejak tahun 1993 hingga 2008. Kondisi ini cukup ironis mengingat wilayah Maluku kaya akan sumber daya perikanan yang merupakan salah satu sumber protein utama. Konsumsi protein per kapita per hari di kalangan penduduk Maluku pada tahun 2008 adalah 53,00 gr, sedangkan rata-rata penduduk Indonesia mengkonsumsi protein sebanyak 57,49 gr per hari. Apakah ini bermakna bahwa rata-rata penduduk Maluku hidup dalam kondisi relatif kurang gizi dibandingkan penduduk Indonesia?
Tabel 4. Konsumsi Kalori dan Protein Per Kapita Per Hari
di Provinsi Maluku dan Indonesia Tahun 1993-2008

Konsumsi Kalori Per Kapita Per Hari (kkal)
Provinsi Maluku
Indonesia
1993
1.883,70
1.879,13
1996
1.901,75
2.019,79
1999
1.619,73
1.849,36
2002
-
1.985,73
2005
1.984,95
2.007,65
2008
1.939,04
2.038,17
Konsumsi Protein Per Kapita Per Hari (gr)
Provinsi Maluku
Indonesia
1993
46,31
48,89
1996
48,96
54,49
1999
39,10
48,67
2002
-
54,42
2005
53,54
56,59
2008
53,00
57,49

Sumber: BPS, 2009.

Sumber utama seorang penduduk untuk memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan konsumsinya, termasuk pangan, adalah dengan bekerja. Namun, dinamika perekonomian tidak selamanya menyediakan kesempatan kerja yang bisa diisi dengan mudah oleh seorang anggota masyarakat. Hal ini diantaranya tergambar dari indikator ketenagakerjaan, seperti Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Kesempatan Kerja (TKK), dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).
Data tahun 2008 menunjukkan bahwa TPAK Provinsi Maluku adalah 62,82 persen, sedangkan TKK tercatat 89,33 persen. Meskipun mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, namun pencapaian ini masih tergolong terendah jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Sebaliknya, TPT Provinsi Maluku adalah 10,67 persen pada tahun 2008 yang merupakan salah satu yang tertinggi di antara 33 provinsi.
Produktivitas pekerja di Provinsi Maluku juga diketahui sangat rendah jika dibandingkan dengan di tingkat nasional. Pada tahun 2008, produktivitas pekerja di Provinsi Maluku hanya Rp 7,58 juta per pekerja, sedangkan rata-rata nasional mencapai Rp 18,91 juta per pekerja. Jika dibandingkan, maka diketahui bahwa produktivitas “orang Maluku” hanya kurang dari separuh penduduk Indonesia.
Tingkat produktivitas pekerja di Provinsi Maluku hanya lebih baik dari pekerja di Provinsi Maluku Utara yang notabene merupakan sesama “orang Maluku” dan Provinsi Gorontalo yang merupakan “anak bawang”. Selain keduanya, produktivitas pekerja di Provinsi Maluku tidak lebih baik dari pekerja di satupun provinsi lainnya! Apalagi jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya yang menjadi provinsi-provinsi pertama yang diakui ketika Indonesia merdeka. Rasanya, tidak perlu disajikan data pembandingnya, karena hanya akan membuat terluka!

Tabel 5. Produktivitas Pekerja Provinsi Maluku dan Indonesia Tahun 2006-2008

Provinsi
Produktivitas Pekerja (Rp Juta/Pekerja)
2006
2007
2008
Maluku
7,61
7,49
7,58
Indonesia
19,35
19,64
20,30

Sumber: BPS, 2009.

Apa yang bisa diharapkan dari suatu wilayah dengan tingkat partisipasi kesempatan kerja yang rendah, tingkat pengangguran yang tinggi, dan disertai oleh produktivitas pekerja yang rendah? Selain keterbatasan kesejahteraan, potensi atau kerawanan terjadinya konflik sosial sangat besar! Semua kita yang merasa “orang Maluku” pasti sudah memahaminya dan enggan untuk mengingatnya kembali! Tetapi, apakah mampu memperbaikinya untuk masa-masa yang akan datang?
Aksesibilitas politik memang antara lain merupakan instrumen yang taktis, sehingga dapat dimaklumi apabila para pemuda Maluku beberapa waktu lalu menuntut pertimbangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengakomodasi darah Maluku di dalam jajaran Kabiten Indonesia Bersatu II. Keberadaan “orang Maluku” pada posisi penting diprediksikan akan mampu mengarahkan perhatian pemerintah pusat untuk lebih banyak memperhatikan kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Maluku. Namun, hal tersebut tidak boleh membuat kita semua lengah untuk berdiri dengan kepala tegak dan membangun secara mandiri dengan memanfaatkan secara optimal segenap potensi yang dimiliki. Data-data memilukan yang tersaji di atas harus dibalik menjadi cerita-cerita membanggakan di masa-masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar