Pendahuluan
Departemen Keuangan selaku institusi pengelola fiskal telah melakukan pembaharuan di berbagai bidang, termasuk dalam hal kebijakan pengelolaan belanja pemerintah pusat. Pembaharuan tersebut dikemas dalam terminologi Reformasi Penganggaran dan Reformasi Birokrasi. Implementasi Reformasi Penganggaran diwujudkan melalui penerapan unified budget, performance-based budgeting, dan medium-term expenditure framework (MTEF). Adapun pilar-pilar Reformasi Birokrasi adalah penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, serta peningkatan manajemen sumber daya manusia (SDM)
Reformasi di lingkungan Departemen Keuangan merupakan konsekuensi logis dari implementasi paket kebijakan pengelolaan keuangan negara yang secara de jure dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Khusus mengenai Reformasi Birokrasi, tuntutan juga datang dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 yang menegaskan bahwa Reformasi Birokrasi merupakan salah satu program pemerintah yang krusial dan harus segera dilaksanakan. Inisiatif reformasi telah dimulai pada awal tahun 2007 dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK/2007 tentang Reformasi Birokrasi di Lingkungan Departemen Keuangan. Selanjutnya, setelah melalui serangkaian pembahasan di antara Menteri Keuangan dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak pertengahan tahun 2007, maka pada tanggal 11 September 2007 telah disetujui implementasi Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan, termasuk mekanisme remunerasi, dengan pendekatan reward and punishment.
Sasaran yang ingin dicapai melalui Reformasi Birokrasi adalah peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), peningkatan kinerja birokrasi, dan peningkatan pelayanan publik. Peningkatan good governance diupayakan melalui penerapan prinsip-prinsipnya dalam rangka membentuk perilaku birokrasi berintegritas tinggi dan profesional. Untuk meningkatkan produktivitas kerja telah ditempuh beragam program dan kegiatan yang inovatif. Adapun upaya peningkatan pelayanan publik dilakukan dengan mendorong perbaikan standar pelayanan publik agar menjadi prima.
Dampak Reformasi Birokrasi
Kedudukan Reformasi Birokrasi dalam pelaksanaan tugas setiap unit kerja di lingkungan Departemen Keuangan pada dasarnya sangat penting, strategis, dan instrumental. Reformasi Birokrasi bahkan dapat dikatakan sebagai prasyarat terpenting yang harus dipenuhi agar Reformasi Penganggaran dapat terlaksana dengan baik. Hal ini telah disadari oleh segenap jajaran Direktorat Jenderal Anggaran sebagai unit kerja yang bertindak sebagai pelaksana tugas Menteri Keuangan di bidang pengelolaan anggaran sesuai pasal 8 butir b) dan c) UU No. 17 Tahun 2003. Fungsi Direktorat Jenderal Anggaran sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/ PMK.01/2008 adalah: (1) menyiapkan perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang penganggaran; (2) merumuskan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang penganggaran; (3) memberikan bimbingan teknis dan evaluasi di bidang penganggaran; dan (4) melaksanakan administrasi direktorat jenderal.
Setelah berlangsung selama kurang lebih dua tahun, implementasi Reformasi Birokrasi telah mulai memperlihatkan dampak positif yang signifikan dalam pengelolaan anggaran negara. Lima sasaran strategis yang menjadi target kebijakan pengelolaan anggaran negara mulai dicapai secara bertahap. Kelima sasaran yang dimaksud terdiri dari: (1) efisiensi pengadaan barang dan jasa; (2) alokasi belanja yang tepat sasaran; (3) alokasi belanja yang berkeadilan sosial; (4) peningkatan kualitas pelayanan; dan (5) semakin baiknya citra Departemen Keuangan dalam mengelola belanja negara. Pencapaian diraih melalui upaya-upaya: (1) penetapan kebijakan belanja secara ekonomis, efektif, dan efisien; (2) perencanaan dan alokasi anggaran yang tepat sasaran dan adil; serta (3) pelaksanaan anggaran yang transparan dan akuntabel.
Penetapan kebijakan belanja dilandasi oleh hasil-hasil riset unggulan (research based), sehingga kebijakan dapat disusun berdasarkan data dan infomasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Berdasarkan riset dapat dilakukan penajaman prioritas alokasi belanja untuk mendukung pertumbuhan dan penguatan stabilitas ekonomi serta memperbaiki pemerataan pembangunan. Sejalan dengan program kerja pemerintah, kebijakan belanja diarahkan untuk mendukung aktivitas perekonomian nasional yang pro growth, pro job, dan pro poor.
Perencanaan dan alokasi anggaran dimulai dari perhitungan dasar anggaran (baseline budget) yang memuat pokok-pokok belanja pemerintah pusat. Agar perencanaan dapat tepat sasaran, maka sangat dibutuhkan adanya akurasi data dan ketepatan model perencaaan yang digunakan. Selain itu, pertimbangan-pertimbangan yang relevan harus pula diperhitungkan. Alokasi anggaran dalam perkembangan dewasa ini telah diprioritaskan untuk mencapai sasaran secara tepat dan adil melalui penyusunan yang mengikuti kerangka unified budget, performance-based budgeting, dan medium-term expenditure framework. Untuk itu, serangkaian upaya yang telah ditempuh Direktorat Jenderal Anggaran diantaranya adalah: (1) perbaikan kesejahteraan aparatur negara; (2) peningkatan efisiensi belanja barang dan jasa; (3) pengurangan subsidi secara bertahap, khususnya subsidi yang tidak langsung kepada masyarakat miskin; (4) pengurangan beban bunga utang; (5) peningkatan belanja modal dan infrastruktur; (6) peningkatan bantuan sosial yang langsung menyentuh kepentingan rakyat miskin; (7) penyediaan dana cadangan umum; dan (8) peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Dalam pelaksanaan anggaran, telah dilakukan pembagian kewenangan yang lebih jelas dalam pengelolaan keuangan negara di antara Menteri Keuangan dengan menteri teknis. Kewenangan yang semakin transparan meningkatkan peluang bagi terlaksananya mekanisme saling uji (check and balance) dalam pelaksanaan belanja negara. Di samping itu, akuntabilitas Menteri Keuangan sebagai bendahara umum negara (BUN) dan menteri teknis selaku pengguna anggaran/pengguna barang semakin meningkat. Pembagian kewenangan yang jelas juga memberikan fleksibilitas bagi menteri teknis untuk mengelola belanja kementeriannya secara efisien dan efektif dalam rangka meningkatkan kinerja.
Khusus mengenai Badan Layanan Umum (BLU) telah dilakukan pembinaan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan secara profesional sesuai praktek bisnis yang sehat. Direktorat Jenderal Anggaran telah berupaya menyempurnakan berbagai ketentuan pendukung agar pengelolaan BLU menjadi lebih efisien dan efektif. Melalui pengelolaan keuangan yang profesional, BLU diharapkan mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada publik yang sejalan dengan prinsip reinventing government.
Agar fungsi yang diemban dapat dilaksanakan dengan baik, maka Direktorat Jenderal Anggaran telah melakukan setidak-tidaknya tiga perubahan organisasional, yaitu: (1) melakukan reorganisasi dengan membentuk Direktorat Sistem Penganggaran; (2) menyusun dan mengevaluasi uraian jabatan dan standard operating procedure (SOP) serta melakukan job analysis; (3) menyusun Balance Score Card (BSC) hingga tingkat Eselon II dan akan dilanjutkan untuk tingkat Eselon III.
Tantangan, Kendala, dan Tindak Lanjut
Upaya mengoptimalkan pelaksanaan reformasi kebijakan pengelolaan belanja negara senantiasa dihadapkan pada berbagai tantangan dan kendala, sehingga belum semua aspek dapat terwujud secara optimal dan masih membutuhkan tindak lanjut di masa-masa yang akan datang. Selain adanya tantangan eksternal yang merupakan muara dari krisis ekonomi global, tantangan utama yang dihadapi dalam pengelolaan belanja negara adalah peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara melalui penguatan pilar-pilar Reformasi Penganggaran. Meskipun secara administratif telah mengalami kemajuan, namun masih diperlukan perubahan mind set pada segenap jajaran Direktorat Jenderal Anggaran dalam menerapkan unified budget, performance-based budgeting, dan medium-term expenditure framework.
Penguatan diperlukan, karena dalam prakteknya masih dijumpai banyak kelemahan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja yang menekankan pada pencapaian output dan outcome dari program dan kegiatan yang dilaksanakan dengan memanfaatkan anggaran negara. Kelemahan telah terlihat sejak proses penyusunan dan pembahasan anggaran hingga penuangannya di dalam dokumen anggaran, yaitu Rencana Kerja Anggaran Kementerian/ Lembaga (RKA-K/L) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penetapan target pada umumnya belum disusun dengan menggunakan indikator kriteria yang akuntabel.
Kelemahan lainnya adalah dalam hal penamaan program dan kegiatan instansi yang belum menggambarkan core business dan core competence dari instansi yang bersangkutan. Untuk program yang sama, setiap instansi pemerintah cenderung mendefinisikan sasaran programnya secara tersendiri. Sebagai akibatnya, Direktorat Jenderal Anggaran mengalami kesulitan dalam menetapkan ukuran kinerja secara nasional. Di masa yang akan datang, perlu dilakukan restrukturisasi dan penataan penamaan program dan kegiatan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Kerja (Renja), dan RKA-K/L, sehingga pendefinisian program dan kegiatan lebih mencerminkan output dan outcome pemerintah. Masing-masing instansi pemerintah juga perlu didorong untuk menyusun standar biaya khusus untuk setiap kegiatan dan program melalui suatu penelitian dan menggunakan benchmark yang sesuai.
Dalam proses penyusunan anggaran, formulir RKA-K/L yang digunakan hingga saat ini masih kurang memadai untuk memberikan informasi mengenai kinerja suatu kementerian/ lembaga. Format yang digunakan menyebabkan dokumen anggaran menjadi sangat rinci dan kaku. Kementerian/lembaga diwajibkan untuk menguraikan perhitungan anggaran hingga per kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja, dan mata anggaran. Dokumen anggaran yang rinci tersebut terbawa hingga pembahasan Rancangan APBN dengan DPR, sehingga seringkali substansi kebijakan yang penting menjadi terabaikan. Pembahasan yang detil memakan waktu lama, sehingga waktu yang tersisa bagi kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah untuk melakukan belanja relatif singkat. Realisasi anggaran yang lamban pada akhirnya menjadi kendala bagi pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan yang dibiayai oleh pemerintah. Untuk mengatasi kendala tersebut, format dokumen anggaran perlu disempurnakan dalam pengertian lebih disederhanakan menjadi hanya memuat program dan kegiatan. Di samping itu, formulir RKA-K/L juga perlu difokuskan pada berbagai program dan kegiatan yang strategis sebagai perwujudan layanan pemerintah kepada masyarakat secara lebih terukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar