Senin, 20 September 2010

POTRET MALUKU DI MATA NASIONAL: Disparitas Pembangunan Manusia

DR. ROBERTO AKYUWEN
Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Yogyakarta
Badan Diklat Keuangan, Departemen Keuangan RI


Pembangunan manusia merupakan indikator yang telah digunakan secara luas oleh para peneliti dan pakar ekonomi pembangunan serta berbagai lembaga internasional sebagai ukuran keberhasilan atau kegagalan pembangunan di suatu negara atau daerah. Indikator ini dipandang sebagai muara dari berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun elemen-elemen masyarakat lainnya, termasuk dunia usaha atau swasta, organisasi non-pemerintah, dan lembaga pendidikan. Keberhasilan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas politik, demokratisasi, pelestarian lingkungan hidup, dan penghargaan hak asasi manusia (HAM) bahkan sering dikatakan tidak bermakna apabila tidak mampu diikuti oleh perbaikan kapabilitas manusia di bidang pendidikan, kesehatan, dan pendapatan.
Upaya meningkatkan kualitas manusia melalui pembangunan menghadapi beragam kendala dan tantangan yang berat dari waktu ke waktu, karena bersifat multidimensi dan kompleks. Pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan telah menjalankan berbagai strategi pembangunan yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas manusia, baik melalui pendekatan sektoral maupun regional. Namun, hasil-hasil yang dicapai bersifat fluktuatif dan hingga saat ini belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebagai contoh, jumlah penduduk miskin berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2009 tercatat sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total penduduk Indonesia. Meskipun jumlah ini mengalami penurunan 2,43 juta jiwa jika dibandingkan data Maret 2008 (34,98 juta jiwa atau 15,42 persen), tetapi secara kuantitatif masih sangat besar.
Salah satu kebijakan strategis yang ditempuh pemerintah dalam rangka mengakselerasi pembangunan di Indonesia adalah penerapan otonomi daerah dan desentralisasi sejak tahun 2000. Kebijakan ini dilandaskan pada asumsi bahwa pemerintah daerah, khususnya kabupaten/kota, lebih memahami kondisi di daerah, sehingga layak diberi kepercayaan yang lebih besar dalam mengelola sumber daya pembangunan, baik yang bersumber dari pusat maupun yang dihasilkan sendiri di daerah. Dalam perkembangannya, desentralisasi fiskal telah berjalan sangat pesat dan jumlah dana perimbangan yang dialokasikan ke daerah sangat besar.
Pada tahun 2009, sejumlah Rp 1.037,1 trilyun atau 67,4 persen dari total belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara bertahap dialirkan ke daerah (Departemen Keuangan). Jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang menjalankan kebijakan otonomi daerah, pangsa alokasi dana ke daerah di Indonesia adalah yang terbesar, sehingga digolongkan sebagai negara yang agresif dalam menjalankan desentralisasi fiskal. Negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) misalnya, rata-rata hanya mengalokasikan belanja berkisar 30 persen kepada pemerintah daerah. Di benua Asia, Pemerintah Cina diketahui melakukan transfer dana sekitar 60 persen kepada pemerintah daerah di negaranya.
Dengan kondisi tersebut, maka patut dipertanyakan, apakah alokasi belanja yang demikian besar telah dapat dimanfaatkan secara efisien dan efektif oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat? Hasil kajian yang dilakukan Direktorat Pengembangan Wilayah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa disparitas antarwilayah di Indonesia masih sangat tinggi. Disparitas dijumpai antarkabupaten/kota, antarprovinsi, maupun antarkawasan, dan tidak hanya terjadi pada aspek ekonomi, melainkan menyeluruh pada semua indikator sosial.
Bagaimana dengan kondisi pembangunan manusia di Provinsi Maluku? Kualitas manusia di Provinsi Maluku telah mengalami perbaikan secara signifikan sejak kemerdekaan, namun mengalami kemerosotan tajam ketika terjadi konflik yang berkepanjangan di Kota Ambon pada 1999-2005. Banyak pencapaian yang terbentuk dari pilar-pilar kearifan dan budaya lokal pada akhirnya tergerus dan tertatih-tatih pulih kembali hingga saat ini. Provinsi Maluku yang dahulu dikenal sebagai salah satu provinsi yang cukup maju dalam hal pencapaian pendidikan dasar bersama beberapa provinsi lain, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sulawesi Utara, saat ini tertinggal jauh dan dilewati oleh banyak provinsi lain.
Kondisi tersebut telah disadari oleh Pemerintah Provinsi Maluku, sehingga di tengah-tengah upaya pemulihan pasca konflik, terus dilakukan upaya untuk menggerakkan dinamika pembangunan dari berbagai segi. Rentang kendali seharusnya lebih efektif dengan telah mekarnya Provinsi Maluku Utara, meskipun kondisi geografis kepulauan masih menjadi tantangan. Janji pemerintahan daerah terdahulu untuk memanfaatkan kondisi geografis tersebut sebagai peluang (Gugus-Pulau, Laut-Pulau), nampaknya masih berupa impian seorang anak yang tertidur dengan mengisap jempol hingga saat ini.
Mengapa pembangunan kualitas manusia menjadi relevan dan penting untuk didiskusikan? Karena dari segi kuantitas kependudukan, Provinsi Maluku tidak dapat dikategorikan sebagai wilayah yang “penting” bagi Indonesia. Tentu saja, masih terdapat pertimbangan historis dan politis yang relatif tidak terukur untuk menentukan penting tidaknya kedudukan suatu wilayah, namun tidak diskusikan pada kesempatan ini.
Jumlah penduduk Provinsi Maluku pada tahun 2007 tercatat sebanyak 1,3 juta jiwa atau hanya berkisar 0,58 persen dari total penduduk Indonesia (225,6 juta jiwa). Tingkat pertumbuhan penduduk selama periode 2000-2007 diketahui rata-rata 1,58 persen per tahun, yang berarti lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan penduduk nasional pada periode yang sama, yaitu rata-rata 1,37 persen per tahun. Adapun densitas penduduk di Provinsi Maluku pada tahun 2007 adalah 27 jiwa per km2, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional sebanyak 121 jiwa per km2.
Posisi relatif kualitas manusia yang merefleksikan keberhasilan atau kegagalan pembangunan dapat diindikasikan dengan melakukan perbandingan di antara pencapaian kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Maluku, khususnya kualitas manusia, dengan rata-rata nasional. Dalam hal kemiskinan, persentase penduduk miskin di Provinsi Maluku sebesar 29,66 persen pada tahun 2008 diketahui lebih tinggi dan bahkan hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata nasional pada tahun yang sama, yaitu 15,42 persen. Fenomena serupa dijumpai dalam hal indeks kedalaman kemiskinan (P1) maupun indeks keparahan kemiskinan (P2). Indeks P1 di Provinsi Maluku pada tahun 2007 tercatat sebesar 6,38, jauh lebih tinggi dibandingkan nasional yang hanya 2,99. Sedangkan indeks P2 adalah 1,84 berbanding 0,84. Maknanya adalah bahwa Provinsi Maluku memperburuk kondisi kemiskinan nasional dan fakta ini telah terjadi secara berturut-turut sejak tahun 2005.
Dalam hal kualitas pendidikan, meskipun angka melek huruf di Provinsi Maluku pada tahun 2007 sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, namun angka partisipasi pada anak usia sekolah dasar ternyata lebih rendah. Angka melek huruf di Provinsi Maluku untuk usia 15-24 tahun diketahui 98,95 persen, sedangkan di tingkat nasional 98,84 persen. Adapun angka melek huruf untuk usia 15-55 tahun tercatat 97,68 persen berbanding 95,34 persen. Angka partisipasi sekolah untuk anak berusia 7-12 tahun di Provinsi Maluku adalah 97,24 persen, sedangkan di tingkat nasional 97,60 persen. Untuk partisipasi sekolah pada usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun, data menunjukkan bahwa Provinsi Maluku masih lebih baik dibandingkan rata-rata nasional. Kondisi yang serupa dijumpai pula dalam hal angka partisipasi sekolah murni, di mana angka partisipasi Sekolah Dasar di Provinsi Maluku lebih buruk dari tingkat nasional, namun untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) tercatat lebih baik jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Berarti terdapat tantangan besar bagi Pemerintah Provinsi Maluku untuk memperbaiki partisipasi sekolah pada anak-anak yang berusia SD, di samping perlu terus memacu angka partisipasi sekolah untuk SLTP dan SLTA.
Rata-rata lama sekolah di Provinsi Maluku pada tahun 2007 adalah 8,5 tahun. Angka ini lebih baik dibandingkan dengan di tingkat nasional yang hanya 7,5 tahun. Sedangkan untuk jumlah murid yang dilayani oleh setiap guru terdapat kesamaan di antara Provinsi Maluku dan nasional untuk tingkat SD dan SLTA, yaitu masing-masing 19 orang dan 12 orang. Adapun untuk tingkat SLTP, rasio murid per guru di Provinsi Maluku sebanyak 8 orang, lebih rendah dibandingkan nasional sejumlah 14 orang. Jumlah murid untuk setiap kelas SD di Provinsi Maluku tercatat 32 orang, lebih tinggi dibandingkan nasional sebanyak 30 orang. Sebaliknya, jumlah murid per kelas SLTP dan SLTA di Provinsi Maluku lebih rendah dibandingkan nasional, yaitu masing-masing 31 orang berbanding 37 orang dan 35 orang berbanding 37 orang.
Provinsi Maluku diketahui lebih baik dibandingkan rata-rata nasional untuk angka putus sekolah pada tahun 2007. Angka putus sekolah di kalangan penduduk miskin di Provinsi Maluku adalah 1,45 persen untuk anak berusia 7-12 tahun dan 5,29 persen untuk anak berusia 13-15 tahun. Angka ini lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional, yaitu masing-masing 1,78 persen dan 11,22 persen. Namun, di kalangan penduduk yang tidak miskin, persentase anak berusia 7-12 tahun yang putus sekolah di Provinsi Maluku adalah 0,55 persen yang berarti lebih tinggi dibandingkan di tingkat nasional yang hanya 0,38 persen. Sementara itu, persentase anak berusia 13-15 tahun yang tidak miskin tetapi putus sekolah di Provinsi Maluku adalah 1,88 persen berbanding 2,81 persen di tingkat nasional. Secara keseluruhan, angka putus sekolah di Provinsi Maluku untuk usia 7-12 tahun adalah 0,90 persen, sedangkan di tingkat nasional 0,67 persen. Untuk usia 13-15 tahun perbandingan angka putus sekolah adalah 2,94 persen berbanding 4,21 persen. Dengan demikian diperoleh gambaran bahwa terdapat persoalan dalam pendidikan bagi anak yang berusia 7-12 tahun di Provinsi Maluku.
Untuk mengevaluasi kemajuan di bidang kesehatan, dilakukan perbandingan dalam aspek persentase balita yang diimunisasi, angka kematian bayi, dan angka harapan hidup. Pada tahun 2007, jumlah bayi yang diimunisasi Hepatitis-B di Provinsi Maluku tercatat 74,77 persen, lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional sebesar 81,90 persen. Kondisi imuniasi Hepatitis-B di Provinsi Maluku yang lebih buruk dibandingkan tingkat nasional dijumpai untuk balita dari keluarga miskin maupun tidak miskin. Perbandingan persentase balita yang diimunisasi Hepatitis-B untuk keluarga miskin adalah 67,55 persen berbanding 75,36 persen, sedangkan untuk keluarga tidak miskin adalah 79,15 persen berbanding 83,65 persen. Kondisi yang sama ditemukan dalam kasus imunisasi balita untuk BCG, DPT, Polio, dan Campak. Imunisasi yang terbatas akan berdampak pada rendahnya kualitas kesehatan yang mempengaruhi kinerja atau produktivitas.
Kualitas kesehatan di Provinsi Maluku yang belum sesuai harapan juga tergambar dari angka kematian bayi pada tahun 2007 sebesar 32,6 persen yang lebih tinggi dibandingkan di tingkat nasional yang hanya 27,5 persen. Persentase kematian bayi yang lebih tinggi dari rata-rata nasional telah berlangsung cukup lama dan tidak menunjukkan adanya perbaikan yang berarti. Sebagai contoh, perbandingan pada tahun 2005 adalah 34,4 persen berbanding 28,9 persen dan pada tahun 2006 adalah 33,5 persen berbanding 28,2 persen.
Kondisi kesehatan yang belum memadai menyebabkan rata-rata usia harapan hidup di Provinsi Maluku masih lebih rendah jika dibandingkan dengan di tingkat nasional. Data tahun 2007 menunjukkan bahwa rata-rata usia harapan hidup di Provinsi Maluku adalah 69 tahun, sedikit lebih rendah dibandingkan di tingkat nasional selama 70,4 tahun. Perbaikan rata-rata usia harapan hidup di Provinsi Maluku relatif lambat dan seiring dengan di tingkat nasional. Perbandingan pada tahun 2005 adalah 68,6 tahun berbanding 70 tahun, sedangkan pada tahun 2006 adalah 68,8 tahun berbanding 70,2 tahun.
Untuk merangkum aspek pendidikan dan kesehatan, serta dengan melibatkan pula aspek pengeluaran riil yang disesuaikan yang menggambarkan daya beli, maka indikator kumulatif yang paling sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). IPM Provinsi Maluku pada tahun 2006 tercatat 69,69 dan kemudian sedikit membaik menjadi 69,96 pada tahun 2007. Dengan angka tersebut, Provinsi Maluku menempati urutan ke-18 pada dari total 33 provinsi di Indonesia. Adapun IPM nasional pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing 70,10 dan 70,59, sehingga IPM Provinsi Maluku masih lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional.

Perbandingan IPM Provinsi Maluku dan Indonesia Tahun 2006 dan 2007

Provinsi/Kabupaten/Kota
IPM
Peringkat Nasional
2006
2007
2006
2007
MALUKU
69,69
69,96
17
18
Maluku Tenggara Barat
66,47
67,14
361
364
Maluku Tenggara
70,39
71,04
188
188
Maluku Tengah
68,31
69,06
283
279
Buru
66,75
67,49
353
349
Kepulauan Aru
68,54
68,91
270
286
Seram Bagian Barat
67,81
68,28
302
313
Seram Bagian Timur
65,31
66,18
395
390
Kota Ambon
76,58
77,46
11
8
INDONESIA
70,10
70,59
-
-

Sumber: BPS, 2008.

Di bidang ketenagakerjaan, persentase pekerja informal di Provinsi Maluku yang tercatat pada tahun 2007 adalah 76,63 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pekerja informal di tingkat nasional, yaitu 60,06 persen. Berarti bahwa belum cukup tersedia lapangan pekerjaan formal untuk menampung angkatan kerja di Provinsi Maluku.
Berdasarkan beberapa indikator tersebut, tedapat tantangan berat yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Maluku bersama-sama dengan segenap Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka memperbaiki kualitas manusia. Tantangan tersebut hanya mampu dijawab melalui kerja keras yang disertai dengan perencanaan dan alokasi sumber daya secara prima, khususnya dana yang bersumber dari APBN maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Meskipun upaya keras untuk meningkatkan penerimaan daerah perlu tetap dilakukan, namun harus diimbangi dengan pemanfaatan dana untuk belnja secara efisien dan efektif serta tepat sasaran.
Mengapa? Karena hasil analisis elastisitas menunjukkan bahwa IPM dan komponen-komponennya bersifat inelastis akumulasi belanja pemerintah pusat dan daerah di Provinsi Maluku. Pengertian dari inelastis adalah bahwa setiap tambahan belanja pemerintah di Provinsi Maluku ternyata terbukti tidak diikuti oleh perbaikan IPM maupun komponen-komponennya pada tingkat yang sama. Berarti terdapat indikasi kuat pemanfaatan belanja pemerintah di Provinsi Maluku tidak tepat sasaran.
Apakah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang baru saja dilantik dapat membantu mengoptimalkan belanja pemerintah daerah untuk memperbaiki pembangunan manusia di Provinsi Maluku melalui penerapan fungsi anggaran dan pengawasan? Semoga! Karena fakta-fakta empirik selama ini lebih banyak membuktikan bahwa justru lembaga legislatiflah yang menjadi salah satu penyebab utama anggaran pemerintah menjadi kurang efektif dan efisien, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembahasan yang bertele-tele serta intervensi kepentingan politik dalam alokasi anggaran (politik anggaran) nampaknya masih akan terus berlangsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar