Senin, 20 September 2010

REFORMASI BIROKRASI DAN PENEGAKAN DISIPLIN PNS DI KEMENTERIAN KEUANGAN: KASUS MAKELAR PAJAK!

Dr. Roberto Akyuwen
Widyaiswara pada Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Yogyakarta
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Akhir-akhir ini masyarakat disuguhi dengan pemberitaan di semua media massa mengenai perbuatan tercela yang dilakukan oleh seorang “pegawai negeri sipil pemula” di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Kekayaan yang dimiliki oleh yang bersangkutan, baik dalam bentuk uang di rekening bank maupun bangunan, sangat mencengangkan. Bahkan dalam suatu dialog di salah satu stasiun televisi disebutkan bahwa kekayaan sang PNS lebih dari tiga kali lipat dibandingkan kekayaan yang dimiliki oleh Presiden SBY!
Fakta tersebut mencuatkan banyak tanda tanya di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan PNS sendiri tentunya, meskipun kemungkinan tidak lagi terlalu asing bagi PNS di lingkungan Ditjen Pajak. Bagaimana mungkin seorang PNS yang masih bergolongan III/a dengan masa kerja kurang dari 10 tahun mampu mengumpulkan uang demikian banyak? Barangkali cukup banyak juga anggota masyarakat yang curious dan ingin mengetahui, bagaimana caranya?
Pertanyaan lain, atau lebih tepatnya keyakinan masyarakat dan aparat penegak hukum adalah bahwa skandal tersebut melibatkan banyak pihak kalau bukan telah menjadi jejaring makelar pajak yang telah berevolusi dari waktu ke waktu. “Gaya hidup” PNS di Ditjen Pajak yang serba berkecukupan dan mewah, minimal di atas rata-rata PNS pada umumnya, sudah merupakan cerita lama. Lalu, apakah selama ini tidak ada upaya untuk memperbaikinya? Dapat dipastikan bahwa apabila tidak ada pengakuan yang nekad dari seorang Jenderal Polisi Bintang Tiga, maka kasus makelar pajak tidak akan pernah muncul ke permukaan dan hanya menjadi suatu kegiatan business as usual.
Tulisan ini tidak difokuskan untuk membahas bagaimana cara sang PNS melakukan “kenakalan” dalam mengakali peraturan perundangan dan wajib pajak untuk kepentingan pribadi, karena telah diungkapkan di media massa. Juga tidak diarahkan untuk memetakan jejaring yang bersangkutan dalam melakukan aksinya, karena masih dalam proses verbal oleh penegak hukum yang meliputi Satuan Tugas (Satgas) Mafia Hukum, Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, melalui tulisan ini, penulis ingin memberikan sedikit gambaran mengenai proses Reformasi Birokrasi serta penegakan Kode Etik dan Hukuman Disiplin di lingkungan Kementerian Keuangan, sehingga dapat menjadi pembelajaran untuk menyempurnakan proses reformasi birokrasi yang sedang dirintis di unit-unit kerja pemerintah lainnya, termasuk di lingkungan Pemerintah Daerah.
Kementerian Keuangan merupakan instansi yang pertama menjalankan Reformasi Birokrasi dan selama ini dipandang cukup berhasil. Kebanyakan publik dapat melihat secara kasat mata perubahan cukup signifikan yang terjadi, misalnya dalam pelayanan pajak dan bea cukai, khususnya dalam hal prosedur yang menjadi lebih sederhana dan cepat. Menteri Keuangan dalam berbagai kesempatan selalu mengemukakan bahwa perbaikan pelayanan dan “image” merupakan sasaran utama dari Reformasi Birokrasi di Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, merebaknya kasus pajak merupakan “tamparan” bagi birokrasi Kementerian Keuangan. Sang PNS dianalogkan dengan seekor tikus di dalam lumbung padi yang keluar ke permukaan, sementara itu, masih banyak tikus-tikus lainnya. Lalu, apakah untuk mengatasi hama tikus tersebut, lumbung padi perlu dibakar? Tentu tidak!
Terdapat tiga pilar dalam Reformasi Birokrasi, yaitu Penataan Organisasi, Penyempurnaan Proses Bisnis, serta Peningkatan Disiplin dan Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Ketiga pilar sekaligus merupakan indikator kinerja utama dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, kinerja, dan tata pemerintahan yang baik. Sebetulnya, banyak hal yang telah dilakukan sehubungan dengan implementasi Reformasi Birokrasi, namun yang selama ini menjadi perhatian masyarakat adalah perbaikan “remunerasi”. Meskipun kalangan PNS dari unit kerja pemerintah lainnya terkesan pada umumnya menerima perbedaan tingkat pendapatan yang cukup ekstrim dengan PNS di Kementerian Keuangan, namun harus diakui banyak rasa ketidakadilan yang diungkapkan. Rasa tersebut tentu tidak dapat diungkapkan secara “vulgar”, seperti layaknya aksi demontrasi mahasiswa, karena PNS merupakan “aparatur negara” yang perlu menjaga kewibawaannya. Semoga kondisi ketidakpuasan di kalangan PNS non-Kementerian Keuangan tidak berlangsung lama!
Perbaikan remunerasi yang seolah-olah identik dengan Reformasi Birokrasi ternyata belum mampu menghindarkan PNS dari perbuatan tercela. Penegakan aturan main ternyata diikuti pula dengan kelicikan yang semakin “canggih” dan dengan harga “kongkalikong” yang semakin mahal. Padahal, peraturan perundangan yang dibuat untuk menata Jiwa Korps (PJK), Kode Etik, dan Disiplin di lingkungan PNS semakin lengkap. Dengan demikian, dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi optimalnya kinerja atau setidak-tidaknya kepatuhan seorang PNS, yaitu (1) sistem yang diderivasikan menjadi peraturan perundangan; (2) kelembagaan; (3) prosedur atau tata kerja; dan (4) karakter individu.
Dalam kasus makelar pajak, nampaknya karakter individu merupakan faktor yang dominan, meskipun masih terdapat “celah” dalam ketiga faktor lainnya. Fenomena ini merupakan tambahan pembuktian terhadap konsep Manajemen SDM yang menyatakan bahwa manusia merupakan unsur yang terpenting dalam suatu organisasi, karena merupakan motor penggerak dalam semua hal. Sering dicontohkan bahwa pabrik elektronik yang paling canggih sekalipun yang menggunakan banyak robot, tetap membutuhkan manusia sebagai penentu kinerja.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS memuat tentang kewajiban yang harus dijalankan oleh seorang PNS. Jumlah kewajiban yang tertera cukup banyak, yaitu mencapai 26 butir kewajiban, dan semuanya dilanggar dalam kasus makelar pajak. Sebagai contoh, dalam butir 8 disebutkan bahwa seorang PNS wajib bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara. Makelar kasus pajak jelas sangat bersemangat dalam bekerja, namun sayangnya untuk kepentingan pribadi.
Selanjutnya dalam pasal 3 PP yang sama berisikan 18 butir larangan yang harus dijauhkan oleh seorang PNS. Pelaku penyimpangan di Ditjen Pajak telah melanggar aturan ini sejak butir yang pertama yang menjadi esensi citra PNS Kementerian Keuangan, yaitu melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat negara, pemerintah, atau PNS. Selain itu, butir kedua berupa larangan untuk menyalahgunakan wewenang dipastikan telah dilanggar. Lebih jauh lagi dan secara lebih spesifik, terjadi pula pelanggaran atas butir larangan ke-8, yaitu menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan PNS yang bersangkutan. Butir ini dapat dikatakan sebagai “larangan klasik” yang telah menjadi rahasia umum dilanggar oleh banyak oknum PNS. Makelar kasus pajak jelas telah mendapatkan “reward” yang berlimpah sehubungan dengan pekerjaannya sebagai PNS yang merugikan negara.
Menteri Keuangan sebagai pimpinan tertinggi telah menerbitkan banyak peraturan untuk menjaga kehormatan PNS di lingkungan Kementerian Keuangan dengan mengacu pada peraturan perundangan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945 (pasal 5, 27, 28), UU No. 43 Tahun 1999, UU No. 28 Tahun 1999, TAP MPR No. VI/MPR/2001, PP No. 30 Tahun 1980, dan PP No. 42 Tahun 2004. Contohnya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.01/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.01/2007 tentang Pedoman Peningkatan Disiplin PNS di Lingkungan Departemen Keuangan. Permenkeu tersebut telah diikuti dengan Instruksi Menteri Keuangan Nomor 01/IMK.01/ 2007 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Penegakan Disiplin PNS di Lingkungan Departemen Keuangan. Seluruh Eselon I di Kementerian Keuangan kemudian telah pula menerbitkan peraturan yang lebih spesifik sesuai dengan karakter lingkungan kerjanya masing-masing. Misalnya, Kode Etik Pegawai di Lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 220/PMK.01/2007.
Materi yang termuat dalam peraturan perundangan tentang penegakan disiplin PNS di lingkungan Kementerian Keuangan, dan seharusnya serupa dengan di kementerian lainnya maupun di daerah, relatif komprehensif. Terdapat aturan mengenai kewajiban dan larangan bagi PNS yang kemudian diikuti oleh uraian mengenai hukuman disiplin. Mekanisme disiplinpun telah diatur dengan lengkap meliputi: (1) jenis hukuman disiplin; (2) pejabat yang berwenang menghukum; (3) pemeriksaan; (4) tata cara penjatuhan hukuman disiplin; (5) kelengkapan usul penjatuhan hukuman disiplin yang diajukan; (6) tata cara penyampaian hukuman disiplin; (7) keberatan; (8) berlakunya keputusan hukuman disiplin; (9) penguatan/perubahan atas hukuman disiplin; (10) hapusnya kewajiban menjalankan hukuman disiplin; (11) pemberian peringatan tertulis; (12) pemberhentian dengan hormat sebagai CPNS; (13) pemberhentian tidak dengan hormat sebagai CPNS; (14) pemberhentian/ pemberhentian sementara dari jabatan; (15) pemberhentian berdasarkan pasal 8 PP No. 32 Tahun 1979 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 65 Tahun 2008; (16) pemberhentian karena meninggalkan tugas; dan (17) pemberhentian karena tidak melaporkan diri setelah selesai menjalankan cuti di luar tanggungan negara. Masing-masing mekanisme masih pula dilengkapi dengan rincian yang mengakomodasi berbagai segi penegakan disiplin PNS.
Tetapi, aturan main yang demikian lengkap nampaknya tidak efektif apabila tidak menyatu secara utuh dengan pembentukan karakter PNS. Perlu diakui bahwa kasus di Ditjen Pajak sebagai suatu “fenomena gunung es” merupakan buah yang harus kita petik dari adanya kemerosotan penyiapan kedisiplinan di lingkungan PNS, baik di pusat maupun daerah, meskipun bukan merupakan satu-satunya faktor. Kuantitas maupun kualitas materi kedisiplinan dalam proses penyiapan seorang Calon PNS (CPNS) menjadi PNS sudah semakin dikurangi dari tahun ke tahun. Proses pematangan kedisiplinan dewasa ini sudah diidentikan dengan “latihan baris-berbaris” dan “senam pagi” semata. Penyampaian materi Pancasila serta Penegakan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dalam pendidikan dan pelatihan PNS di berbagai jenjang sudah dipandang sebagai ”bonus” untuk sekedar menyeimbangkan nilai ujian dengan materi-materi teknis lainnya.
Barangkali kita bisa melihat dari sisi positif bahwa Reformasi Birokrasilah yang menyebabkan kasus di Ditjen Pajak dapat terungkap. Kasus tersebut seharusnya dapat dijadikan pembelajaran bagi instansi pemerintah lainnya agar pada waktunya dapat menjalankan Reformasi Birokrasi dengan lebih optimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar