Senin, 20 September 2010

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH: SIAPKAH MALUKU?

Dr. Roberto Akyuwen
Balai Diklat Keuangan Yogyakarta

Tujuan, Strategi, dan Kebijakan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mulai diberlakukan. Menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, tujuan penerbitan undang-undang tersebut adalah dalam rangka memperbaiki kewenangan pemungutan. Strategi yang ditempuh difokuskan pada penetapan jenis-jenis pungutan daerah dengan kebijakan yang disebut dengan “Closed List”. Praktek kebijakan ini adalah daerah hanya diperkenankan untuk memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum di dalam UU No. 28 Tahun 2009. Dengan demikian, dapat dihindari potensi konflik tata usaha negara yang timbul dari penerbitan beraneka ragam Peraturan Daerah yang ditujukan untuk meningkatkan pungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak sesuai.
Tujuan lainnya adalah memperkuat kemampuan pajak daerah atau local taxing power, meningkatkan efektivitas pengawasan, dan memperbaiki sistem pengelolaan. Local taxing power dijalankan dengan strategi perluasan basis pungutan dan diskresi penetapan tarif, yaitu meliputi kebijakan perluasan obyek, menambah jenis, menaikkan tarif maksimum, serta diskresi batas minimum dan maksimum dalam penetapan tarif pajak. Untuk meningkatkan sistem pengawasan dilakukan pengawasan secara preventif dan korektif serta menegakkan sanksi administratif maupun substantif. Adapun untuk memperbaiki sistem pengelolaan dilakukan peningkatan kualitas penggunaan hasil pajak daerah berupa perbaikan bagi hasil pajak provinsi ke kabupaten/kota, mempertegas earmarking, dan memperbaiki sistem insentif pemungutan yang didasarkan pada pencapaian kinerja tertentu.
Seluruh tujuan, strategi, dan kebijakan yang termaktub di dalam UU No. 28 Tahun 2009 pada dasarnya diarahkan untuk memperbaiki distribusi perpajakan negara, belanja negara, struktur dan proporsi komponen-komponen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta struktur dan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Porsi pajak daerah selama ini relatif sangat kecil dan juga bertumbuh sangat lambat selama periode 2006-2009 apabila dibandingkan dengan pajak pusat. Sejalan dengan itu, kondisi yang sama dijumpai pula dalam hal perbandingan belanja pusat dan belanja daerah.
Dalam konteks struktur APBD provinsi, terlihat bahwa antara tahun 2006-2009, terjadi keseimbangan di antara dana perimbangan dan PAD, sedangkan porsi lain-lain PAD relatif kecil. Pada tahun 2009, persentase total dana perimbangan dari seluruh provinsi di Indonesia mencapai 46 persen dari total APBD. Adapun persentase total PAD dan lain-lain PAD terhadap total APBD seluruh provinsi masing-masing 44 persen dan 10 persen. Struktur PAD provinsi masih sangat didominasi oleh pajak daerah yang jauh lebih besar dibandingkan retribusi daerah, hasil perusahaan dan kekayaan yang dipisahkan, serta lain-lain PAD. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa total kontribusi pajak daerah mencapai 85 persen dari total PAD seluruh provinsi di Indonesia.
Fakta berbeda dijumpai pada struktur APBD kabupaten/kota. Komponen dana perimbangan memberikan sumbangan yang jauh lebih besar dibandingkan PAD dan lain-lain PAD pada kurun waktu 2006-2009. Proporsi total dana perimbangan mencapai 85 persen dari total APBD seluruh kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2009. Adapun kontribusi PAD dan lain-lain PAD masing-masing hanya 7 persen dan 8 persen pada tahun yang sama. Fakta ini menunjukkan masih besarnya ketergantungan fiskal kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat.
Pajak daerah merupakan komponen yang mendominasi PAD kabupaten/kota selama tahun 2006-2009, kemudian berturut-turut diikuti oleh retribusi daerah, lain-lain PAD, dan hasil perusahaan dan kekayaan dipisahkan. Pangsa pajak daerah dalam PAD kabupaten/kota pada tahun 2009 diketahui sebesar 34 persen yang berarti tidak sebesar pada PAD provinsi. Adapun retribusi daerah tercatat 31 persen, lain-lain PAD 27 persen, serta hasil perusahaan dan kekayaan dipisahkan 8 persen.
Pertanyaan pertama yang muncul di benak stakeholders pajak daerah dan restribusi daerah adalah: apa implikasi dari penerapan UU No. 28 Tahun 2009? Pertanyaan selanjutnya adalah tantangan dan permasalahan apa yang akan dihadapi? Kemudian, apakah semua provinsi dan kabupaten/kota telah siap menjalankannya secara optimal? Dan, kemungkinan masih banyak pertanyaan lagi yang harus dijawab. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti juga hadir di dalam benak stakeholders pajak daerah dan restribusi daerah di Provinsi Maluku, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota se-Maluku!

Implikasi

Mari kita mulai analisis dari implikasi terhadap APBN kemudian dilanjutkan ke APBD. Kehadiran UU No. 28 Tahun 2009 secara langsung membawa implikasi bagi Pemerintah Pusat, yaitu berupa pengurangan pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Menurut hasil analisis Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, pendapatan APBN dari  Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) diperkirakan akan berkurang sebesar 0,66 persen pada tahun 2014. Selanjutnya, pendapatan APBN dari Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) diprediksikan akan berkurang 0,80 persen pada tahun 2011. Adapun pendapatan APBN dari cukai diproyeksikan akan berkurang 0,63 persen pada tahun 2014. Meskipun demikian, penerimaan APBN dari ketiga komponen masih meningkat pada tahun 2010 jika dibandingkan dengan tahun 2009.

Tabel 1. Realisasi Penerimaan APBN Tahun 2009 dan
Rencana Penerimaan APBN Tahun 2010 Dari PBB-P2, BPHTB, dan Cukai

No.
Jenis Pajak
Realisasi Penerimaan Tahun 2009
Rencana Penerimaan
Tahun 2010
1.
PBB-P2
Rp 5,41 triliun
Rp 6,01 triliun
2.
BPHTB
Rp 6,98 triliun
Rp 7,35 triliun
3.
Cukai
Rp 54,54 triliun
Rp 57,20 triliun

Sumber: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.

Sebagai trade-off dari pendapatan APBN adalah pendapatan APBD. Seluruh komponen pajak maupun retribusi provinsi diproyeksikan akan mengalami peningkatan dan demikian pula dengan PAD. Selain itu, hal yang cukup menggembirakan adalah bahwa proporsi PAD terhadap APBD provinsi diperkirakan juga meningkat, meskipun masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan pasca implementasi otonomi daerah dan desentralisasi.
Total pajak provinsi diperkirakan akan meningkat dari Rp 35,57 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp 72,79 triliun pada tahun 2014. Berarti dalam kurun waktu lima tahun akan terjadi kenaikan penerimaan pajak provinsi sebesar Rp 37,22 triliun atau 104,64 persen. Sedangkan total retribusi provinsi juga mengalami peningkatan pada periode yang sama, yaitu dari Rp 2,35 triliun menjadi Rp 3,55 triliun. Berarti bahwa antara tahun 2009-2014 terjadi peningkatan retribusi provinsi sebanyak Rp 1,20 triliun atau 51,06 persen. Sementara itu, proporsi PAD provinsi setelah bagi hasil menunjukkan peningkatan dari 34,19 persen pada tahun 2009 menjadi 42,89 persen pada tahun 2014.

Tabel 2. Pajak, Retribusi, dan PAD Provinsi Tahun 2009 Dan Proyeksi Tahun 2010-2014
Satuan: Rp Miliar
No.
Pajak/Retribusi
2009
2010
2011
2012
2013
2014
A.
Pajak Provinsi






1.
PKB
13.337,02
18.957,20
20.698,56
22.439,92
24.181,28
25.922,64
2.
BBNKB
13.826,49
17.528,72
18.925,22
20.321,72
21.718,22
23.114,72
3.
PBBKB
7.744,94
12.487,86
13.870,59
15.253,32
16.636,05
18.018,79
4.
Pajak Air Permukaan
664,99
519,05
572,60
626,15
679,70
733,25
5.
Pajak Rokok
-
-
-
-
-
5.000,00

Total Pajak
35.573,44
49.492,82
54.066,97
58.641,11
63.215,25
72.789,40
B.
Retribusi Provinsi






1.
Retribusi
1.986,39
2.189,89
2.393,38
2.596,87
2.800,37
3.003,86
2.
Retribusi Tambahan
364,60
401,95
439,30
476,65
514,00
551,35

Total Retribusi
2.350,99
2.591,83
2.832,68
3.073,52
3.314,37
3.555,21
C.
Bagi Hasil Pajak Untuk Kab./Kota

13.903,01

19.946,80

21.882,85

23.818,89

25.754,94

31.190,98
D.
Pajak Provinsi Setelah Bagi Hasil

21.670,44

29.546,02

32.184,12

34.822,22

37.460,32

41.598,41
E.
PAD Provinsi
43.587,34
58.146,92
63.361,26
68.575,59
73.789,93
84.004,27
F.
APBD Provinsi
86.826.55
94.090,18
101.353,80
108.617,42
115.881,05
123.144,67
G.
PAD/APBD (%)
50,20
61,80
62,51
63,13
63,68
68,22
H.
PAD Setelah Bagi Hasil/APBD (%)

34,19

40,60

40,92

41,21

41,45

42,89

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan.

Pada tingkat kabupaten/kota, total penerimaan pajak diprediksikan meningkat jauh lebih pesat dibandingkan pada tingkat provinsi. Jika pada tahun 2009 total pajak berjumlah Rp 4,70 triliun, maka pada tahun 2014 diproyeksikan menjadi Rp 30,55 triliun. Dengan demikian, terjadi peningkatan sebanyak Rp 25,85 triliun atau 550 persen, suatu peningkatan yang sangat dramatis. Sedangkan dalam hal total penerimaan retribusi, terjadi peningkatan dari Rp 6,15 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp 9,00 triliun pada tahun 2014. Berarti bahwa selama kurun 2009-2014 diproyeksikan akan terjadi peningkatan total retribusi yang diterima kabupaten/kota sebanyak Rp 2,85 triliun atau 46,34 persen. Indikator lainnya adalah peningkatan pangsa PAD kabupaten/ kota terhadap APBD kabupaten/kota yang hampir mencapai dua kali lipat, yaitu dari 7,45 persen pada tahun 2009 menjadi 14,53 persen pada tahun 2014. Data ini menunjukkan bahwa kemandirian fiskal kabupaten/kota masih relatif rendah, meskipun cenderung meningkat. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya strategis dalam rangka mengakselerasi kontribusi PAD terhadap APBD.

Tabel 3. Pajak, Retribusi, dan PAD Kabupaten/Kota Tahun 2009 Dan Proyeksi Tahun 2010-2014
Satuan: Rp Miliar
No.
Pajak/Retribusi
2009
2010
2011
2012
2013
2014
A.
Pajak Kab./Kota






1.
Pajak Hotel dan Rest.
1.541,74
1.818,94
1.941,96
2.064,98
2.188,00
2.311,02
2.
Pajak Hiburan
214,97
295,71
322,70
349,70
376,69
403,69
3.
Pajak Reklame
401,44
446,07
490,69
535,31
579,93
624,56
4.
Pajak Pen. Jalan
2.205,19
2.346,36
2.487,53
2.628,70
2.769,87
2.911,04
5.
Pajak BG Gol. C
137,09
162,58
153,81
145,03
136,26
127,48
6.
Pajak Parkir
109,00
186,98
210,46
233,94
257,42
280,90
7.
Lain-Lain
89,11
-
-
-
-
-
8.
Pajak Air Tanah
-
222,45
245,40
268,35
291,30
314,25
9.
Pajak SB Walet
-
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
10.
PBB-P2
-
-
-
-
-
12.222,05
11.
BPHTB
-
-
8.085,00
8.896,00
9.783,00
10.761,00

Total Pajak
4.698,56
5.579,09
14.037,55
15.222,01
16.482,47
30.555,98
B.
Retribusi






1.
Retribusi
5.663,46
6.199,94
6.736,42
7.272,90
7.809,38
8.345,87
2.
Retribusi Tambahan
489,88
522,30
554,72
587,14
619,57
651,99
3.
Retribusi Pengend. Menara

-

30,00

33,00

36,30

39,30

43,92
4.
Retribusi Izin Usaha Perikanan

20,00

20,00

22,00

24,20

26,62

29,28
5.
Retribusi Pelayanan Pendidikan

-

10,00

11,00

12,10

13,31

14,64
6.
Retribusi Tera
50,00
50,00
55,00
60,50
66,55
73,21
7.
Retribusi Izin Gangguan

547,00

615,99

862,39

1.034,87

1.138,35

1.252,19

Total Retribusi
6.153,34
6.722,24
7.291,15
7.860,05
8.428,95
8.997,85
C.
Bagi Hasil Pajak Provinsi

13.903,01

19.946,80

21.882,85

23.818,89

25.754,94

31.190,98
D.
PAD+Bagi Hasil Pajak Provinsi

31.300,93

39.431,73

51.032,70

55.359,67

59.762,64

79.978,66
E.
PAD
17.397,92
19.484,93
29.149,85
31.540,78
34.007,70
48.787,68
F.
APBD
233.383,44
253.867,74
274.352,04
294.836,34
315.320,64
335.804,94
G.
PAD/APBD (%)
7,45
7,68
10,62
10,70
10,79
14,53
H.
(PAD+Bagi Hasil Pj. Provinsi)/APBD (%)

13,41

15,53

18,60

18,78

18,95

23,82

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan.

Tantangan

Banyak pihak, baik dari kalangan akademisi maupun birokrat selaku praktisi pajak dan restribusi daerah, yang meragukan bahwa penerapan UU No. 28 Tahun 2009 akan mampu meningkatkan kemampuan fiskal daerah secara signifikan. Sebagian diantaranya berpandangan bahwa undang-undang tersebut hanya memberikan manfaat yang besar bagi kabupaten/kota besar di Pulau Jawa. Sebaliknya, kabupaten/kota kecil yang tersebar di luar Pulau Jawa belum tentu diuntungkan. Bahkan, dengan tegas disebutkan bahwa kabupaten/kota kecil di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak akan mampu menerapkan UU No. 28 Tahun 2009 secara efektif.
Pandangan akademisi maupun praktisi dapat diterima secara logika mengingat peningkatan penerimaan daerah dari pajak daerah dan retribusi daerah hanya mungkin diwujudkan apabila Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah siap dengan segenap instrumen pendukungnya. Instrumen dimaksud meliputi fasilitas, sumber daya manusia (SDM), dan teknologi. Kota-kota besar, seperti Jakarta atau Surabaya tentu tidak akan mengalami hambatan dalam menyediakan instrumen pendukung tersebut. Kondisi sebaliknya dijumpai di kabupaten/kota yang tergolong kecil, sehingga berpotensi semakin tertinggal dan membuka peluang melebarnya disparitas fiskal antardaerah.
Sebagai contoh, Kabupaten Gorontalo Utara merasa belum siap melaksanakan UU No. 28 Tahun 2009, karena sebagai daerah baru hasil pemekaran, SDM pengelola perpajakan belum siap. Pemerintah Kabupaten Gorontalo menghadapi dilema antara menuai harapan atau mendapat masalah. Terjadi perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah, namun menutup kemungkinan daerah memperluas basis pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi ciri khas daerah, karena kebijakan closed list. Apabila dipaksanakan, maka dikhawatirkan pembengkakan biaya pungut yang tidak sebanding dengan hasil pungut dan manfaat yang diperoleh.
Daerah lainnya, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara memandang implementasi UU No. 28 Tahun 2009 sebagai perluasan kewenangan yang setengah hati. Kebijakan menu tertutup lagi-lagi dijadikan kambing hitam, karena diasumsikan tidak memberi kemungkinan bagi daerah memperluas jenis pajak dan retribusi yang khas bagi daerah. Di samping itu, biaya koleksi yang tinggi diperkirakan juga akan membebani daerah, karena skala ekonomi yang relatif rendah.
Kemampuan fiskal yang berbeda secara bertahap tentu akan mendorong semakin melebarnya kesenjangan pembangunan antarwilayah sebagai akibat minimnya kemampuan provinsi dan kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal kecil untuk menyediakan anggaran bagi pelaksanaan pembangunan di daerah. Padahal, tuntutan pembangunan yang dihadapi dari waktu ke waktu semakin kompleks. Dalam banyak kasus, “daerah kecil” masih pula dihadapkan dengan persoalan keterbatasan dan kondisi infrastruktur dasar yang buruk, seperti sering padamnya aliran listrik di berbagai daerah, termasuk salah satu yang terburuk di Kota Ambon dan Provinsi Maluku pada umumnya. Tidak tersedianya infrastruktur dasar secara langsung menghambat berbagai aktivitas sosial dan ekonomi di daerah, namun Pemerintah Daerah tidak mempunyai kapasitas untuk mengatasinya. Dalam konteks Provinsi Maluku, kurangnya prasarana dan sarana transportasi laut dan udara merupakan permasalahan lain yang harus dihadapi, selain persoalan kelistrikan.
Dengan dilaksanakannya UU No. 28 Tahun 2009, sebenarnya besar harapan bahwa daerah bisa lebih optimal dalam menggali potensi PBB-P2 dan BPHTB, sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik. Pemerintah Daerah diasumsikan lebih mengenal karakteristik wilayah maupun para wajib pajak. Untuk itu, semua Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Maluku beserta Pemerintah Kabupaten/Kota se-Maluku, perlu melakukan langkah-langkah persiapan yang mencakup:
1.    penyiapan Peraturan Daerah (Perda) dan peraturan pelaksanaannya;
2.    penyiapan kelembagaan;
3.    penyiapan SDM, diantaranya melalui pendidikan dan pelatihan;
4.    penyiapan prasarana dan sarana;
5.    peningkatan kemampuan teknologi informasi;
6.    pengendalian efisiensi biaya pengalihan;
7.    penyiapan pelayanan prima kepada semua wajib pajak;
8.    peningkatan kerjasama dengan semua pihak terkait; serta
9.    penanaman keyakinan bahwa PBB-P2 dan BPHTB dapat menjadi sumber pendapatan daerah yang signifikan apabila dikelola dengan baik.
Siapkah Pemerintah Provinsi Maluku dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Maluku melakukan langkah-langkah tersebut?
Jawabannya adalah harus siap, karena peraturan perundangan bersifat mengatur dan harus dilaksanakan. Indikator kesiapan yang baik diantaranya dapat ditunjukkan dari seberapa cepat Pemerintah Daerah melakukan penyesuaian kebijakan perpajakan dengan kondisi daerah. Penyesuaian yang tepat juga akan mendorong daya saing daerah, karena iklim investasi menjadi lebih kondusif. Selain itu, kemitraan dalam memikul tanggung jawab terhadap pembangunan semakin merata dan nyata di kalangan masyarakat, karena regulasi pajak daerah dan retribusi daerah menjadi lebih jelas, pasti, dan sederhana. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi daerah dapat didorong sebagai buah dari sumber pendanaan yang tersedia secara lebih memadai.
Masih ada waktu untuk menunggu dan melihat bagaimana Pemerintah Provinsi Maluku maupun Pemerintah Kabupaten/Kota se-Maluku melakukan langkah-langkah taktis untuk memperoleh manfaat yang optimal dari penerapan UU No. 28 Tahun 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar